Dalam sejarah pemikiran Islam, tuduhan terhadap tokoh-tokoh agama bukanlah hal baru. Sejak masa sahabat, tabiin, hingga generasi saat ini, tuduhan semacam ini terus berlanjut. Salah satu yang sering menjadi sasaran tuduhan adalah Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, pendiri Mazhab as-Syafi’i. Ia dituduh sebagai penganut berbagai aliran, mulai dari Syiah hingga Musyabbihah, Mu’tazilah, dan Rafidhah.
Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha, pendiri Mazhab Hanafi, juga tidak luput dari tuduhan sesat, bahkan disebut sebagai pemeluk agama Majusi. Tuduhan terhadap as-Syafi’i lebih kompleks, karena ia tidak hanya dituduh oleh golongan sendiri tetapi juga oleh golongan lain. Ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh dan pemikiran as-Syafi’i, hingga menarik perhatian berbagai aliran.
Penganut Musyabbihah mengklaim bahwa as-Syafi’i memiliki pandangan yang sejalan dengan mereka. Mereka berargumen bahwa ketidaksetujuan as-Syafi’i terhadap ilmu kalam dan ketertarikan yang besar terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadist menunjukkan bahwa ia mendukung paham mereka. Selain itu, kedekatannya dengan Imam Ahmad bin Hanbal, yang dikenal menolak tanzih, semakin memperkuat klaim tersebut.
Di sisi lain, penganut Mu’tazilah juga mengklaim as-Syafi’i sebagai bagian dari golongan mereka. Dalam karya al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamdani al-Mu’tazili, disebutkan bahwa as-Syafi’i adalah murid dari beberapa ulama Mu’tazilah. Mereka merujuk pada cara baca al-Qur’an yang dipilih as-Syafi’i, yang dianggap mendukung paham Mu’tazilah, terutama dalam konteks keadilan Allah.
Sementara itu, pengikut Rafidhah menuduh as-Syafi’i sebagai bagian dari mereka karena interaksinya dengan ‘Alawiyyin dan penyebutannya terhadap Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam karya-karyanya.
Namun, Fakhruddin ar-Razi memberikan pembelaan yang kuat terhadap as-Syafi’i. Ia menunjukkan bahwa klaim penganut Musyabbihah dan Mu’tazilah tidak dapat dipertahankan karena kedua golongan tersebut memiliki pandangan yang bertolak belakang. Musyabbihah cenderung menyamakan sifat Allah dengan makhluk, sedangkan Mu’tazilah berusaha menyucikan Allah dari segala yang tidak layak. Dengan demikian, tuduhan dari kedua golongan tersebut saling bertentangan.
Selain itu, klaim Rafidhah juga terbantahkan oleh fakta bahwa as-Syafi’i mengakui kepemimpinan al-khulafa’ ar-rasyidun, termasuk Sayyidina Ali. Sikap as-Syafi’i yang menghormati dan mencintai semua khulafa’ menunjukkan bahwa ia tidak terikat pada satu golongan tertentu.
Melalui penjelasan ini, dapat dipahami bahwa tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Imam as-Syafi’i tidaklah berdasar dan sering kali merupakan hasil dari kesalahpahaman atau kepentingan politik. Pemikiran as-Syafi’i yang luas dan inklusif seharusnya menjadi contoh bagi umat Islam untuk saling menghormati dan memahami perbedaan di antara mereka.