Dalam kalangan di luar Ahlu Sunnah wal Jama’ah, terdapat anggapan bahwa Allah bersemayam di ‘arsy. Paham ini sering kali muncul dalam terjemahan al-Qur’an bahasa Indonesia yang dapat disalahpahami, terutama oleh generasi milenial. Oleh karena itu, penting untuk menyadarkan kaum milenial tentang bahaya pemahaman ini dalam konteks ilmu tauhid. Kesalahpahaman ini berakar dari ketidakpahaman terhadap lafal “istiwa’” yang terdapat dalam ayat al-Qur’an الرحمن على العرش استوى, yang berarti “Allah Yang Maha Penyayang istiwa’ pada ‘arsy” (Qs. Thaha-5).
Untuk menjelaskan kepada orang-orang awam mengenai ilmu tauhid, pendekatan logika yang mudah dipahami sangat diperlukan. Pertama-tama, kita harus menekankan makna istiwa’ yang disepakati oleh ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Ulama salaf memaknai istiwa’ sebagai memiliki dan menguasai (istiila’). Sebagai contoh, dalam syair jahili (kuno) terdapat ungkapan قد استوى بشر على العراق yang berarti “Bisyr telah menguasai tanah ‘Iraq tanpa pedang dan darah yang ditumpahkan.” Dalam konteks ini, lafal istiwa’ menunjukkan makna penguasaan.
Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa hanya Allah yang mengetahui maksud dari istiwa’ pada ‘arsy, dan ini dikenal dengan istilah tafwidh. Seperti yang dinyatakan oleh Syekh Jalaluddin as-Suyuthi, mayoritas ulama Ahlu Sunnah mengimani dan menyerahkan makna istiwa’ yang dikehendaki Allah kepada-Nya tanpa berani menafsirkannya, serta mensucikan Allah dari hakikat istiwa.
Ada beberapa alasan mengapa ulama Ahlu Sunnah menolak pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyatakan Allah bersemayam di ‘arsy. Pertama, jika istiwa’ bermakna Allah duduk di atas ‘arsy, maka zat Allah dapat diukur sesuai dengan ukuran ‘arsy. Misalnya, seorang siswa yang duduk di atas kursi bisa jadi lebih kecil atau lebih besar dari kursi tersebut. Ini jelas mustahil, karena Allah, yang Maha Besar, tidak dapat diukur dengan ciptaan-Nya.
Kedua, jika istiwa’ berarti Allah menetap di ‘arsy, maka letak zat Allah dapat diperkirakan, yang juga mustahil. Ketiga, jika istiwa’ berarti Allah membutuhkan ‘arsy sebagai tempat tinggal, ini menunjukkan bahwa Allah membutuhkan ciptaan-Nya, yang jelas tidak mungkin. Pertanyaan lebih lanjut muncul, di mana Allah berada sebelum menciptakan ‘arsy jika Dia membutuhkan tempat untuk menetap?
Keempat, jika istiwa’ bermakna Allah duduk di atas ‘arsy, maka hal ini akan menyerupai makhluk-Nya yang melakukan aktivitas duduk, berdiri, dan sejenisnya. Padahal, Allah tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya. Allah berfirman dalam al-Qur’an ليس كمثله شيء yang artinya “Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Allah” (Qs. Asy-Syura-11).
Walaupun Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa Allah berada di atas ‘arsy dan mengklaim pendapatnya merupakan kesepakatan ulama salaf, mayoritas ulama salaf tidak membenarkan pendapat tersebut. Termasuk dalam iman kepada Allah adalah iman kepada apa yang Allah ceritakan dalam al-Qur’an dan yang disepakati oleh ulama salaf bahwa Allah tidak dibatasi oleh tempat ciptaan-Nya. Imam Ja’far ash-Shadiq pernah mengatakan bahwa barang siapa meyakini Allah berada dalam sesuatu atau di atas sesuatu, maka ia telah menyekutukan Allah.
Allah tidak mungkin berlindung atau bernaung pada ciptaan-Nya, karena Dia adalah Dzat yang Maha Merawat dan Mengatur seluruh ciptaan-Nya. Allah mengatur segala urusan dari langit ke bumi (Qs. As-Sajadah-5).