- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Beragama Hanya Sebatas Ikut-Ikutan, Apakah Sah?

Google Search Widget

Ketika seseorang terlahir ke dunia, ia cenderung mengikuti ajaran agama yang dianut oleh orang tuanya. Misalnya, anak yang lahir dari pasangan Kristiani kemungkinan besar akan dibesarkan dalam tradisi Kristen, demikian pula anak dari pasangan Muslim. Fenomena ini menunjukkan bahwa orang tua berperan penting dalam menentukan agama anak, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad (SAW) yang menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan orang tuanya yang akan membentuknya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Terkait dengan hal ini, muncul pembahasan mengenai makrifat dan taklid dalam akidah. Makrifat diartikan sebagai pengetahuan yang mendalam tentang akidah, sedangkan taklid berarti mengikuti tanpa pemahaman yang memadai. Dalam kitab-kitab tauhid yang terkenal, seperti al-Kharidah al-Bahiyyah dan Kifayah al-Awam, para ulama menjelaskan bahwa mengetahui Allah adalah kewajiban bagi setiap mukalaf, tetapi harus didasari oleh syariat.

Imam Al-Dardir menegaskan bahwa mengetahui Allah adalah wajib, dan hal ini menjadi bantahan terhadap pandangan Mu’tazilah yang menganggap bahwa makrifat cukup berdasarkan akal semata. Para ulama sepakat bahwa makrifat harus didasari oleh dalil, sementara taklid hanya mengikuti tanpa pemahaman. Mereka mengartikan makrifat sebagai pengetahuan tentang lima puluh akidah yang meliputi sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana status seseorang yang memeluk Islam hanya berdasarkan taklid tanpa pengetahuan yang mendalam? Dalam kitab Hasyiyah al-Shawi, terdapat enam pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa iman seseorang yang bertaklid sah, tetapi ia berdosa karena tidak menggunakan akal untuk berpikir. Pendapat kedua menganggap makrifat sebagai syarat kesempurnaan. Pendapat ketiga, dari golongan Mu’tazilah, berpendapat bahwa orang yang bertaklid adalah kafir. Pendapat keempat menyatakan bahwa taklid dianggap cukup jika mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Pendapat kelima menyatakan bahwa berpikir untuk mencapai makrifat adalah haram, sedangkan pendapat keenam menyatakan bahwa jika seseorang memiliki kemampuan berpikir dan tidak menggunakannya, maka ia berdosa.

Meskipun ada pendapat yang menganggap iman seorang muqallid sah, penting bagi kita untuk menggunakan akal dalam memahami sifat-sifat Allah. Tanpa pemahaman yang mendalam, kita berisiko menjadi seperti hewan ternak yang hanya mengikuti tanpa berpikir. Imam Muhammad bin Umar al-Sanusi dalam karyanya Ummu al-Barahin menegaskan bahwa taklid dalam akidah tidaklah cukup, dan mengikuti tanpa pemahaman yang benar dapat mengarah pada kekafiran. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk menggali pengetahuan agama secara mendalam dan tidak sekadar mengikuti tradisi tanpa pemahaman yang jelas.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

December 24

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?