Nabi Muhammad (SAW) dikenal sebagai penutup para nabi dan rasul, serta merupakan sosok yang paling mulia di antara mereka. Segala kemuliaan yang dimiliki nabi-nabi sebelumnya juga ada pada diri Nabi Muhammad (SAW), namun beliau memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh nabi-nabi sebelumnya. Allah mengutus Nabi Muhammad (SAW) sebagai penyempurna ajaran yang dibawa oleh para nabi sebelumnya.
Jarak waktu yang panjang antara setiap nabi menyebabkan perubahan pada kitab-kitab suci yang mereka bawa. Misalnya, Bani Israil yang tidak taat kepada nabinya dengan mudah mengubah isi kitab Taurat dan Injil. Jarak antara nabi-nabi ini dikenal sebagai zaman fatrah. Syekh Wahbah az-Zuhaili mencatat bahwa jarak antara Nabi Adam (AS) dan Nabi Nuh (AS) mencapai 10 abad, antara Nabi Nuh (AS) dan Nabi Ibrahim (AS) juga 10 abad, antara Nabi Ibrahim (AS) dan Nabi Musa (AS) 10 abad, antara Nabi Musa (AS) dan Nabi Isa (AS) 17 abad, dan antara Nabi Isa (AS) dan Nabi Muhammad (SAW) adalah 569 tahun.
Dalam konteks zaman fatrah, Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepada kalian menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kalian tidak mengatakan: ‘Tidak ada yang datang kepada kami baik pembawa berita gembira maupun pemberi peringatan.’ Sungguh, telah datang kepada kalian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Ma’idah: 19). Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad (SAW) menyampaikan risalah kenabiannya kepada kaum Yahudi, mengajak mereka untuk memeluk Islam dan meninggalkan ajaran nenek moyang mereka. Namun, banyak di antara mereka yang menolak dan berpura-pura tidak mengenal Nabi Muhammad (SAW).
Mu’adz bin Jabal (RA) menanggapi penolakan tersebut dengan mengingatkan mereka bahwa mereka telah mengetahui tentang Nabi Muhammad (SAW) sebelumnya. Namun, orang-orang Yahudi menolak dan mengklaim bahwa tidak ada kitab yang diturunkan setelah Nabi Musa (AS). Menanggapi sikap ini, Allah menurunkan ayat yang menolak pengingkaran mereka.
Menurut Sayyid Thanthawi, setelah diangkatnya Nabi Isa (AS), tidak ada lagi nabi yang menyerukan tauhid dan ajaran-ajarannya, sehingga banyak umat manusia yang menyimpang dari jalan yang benar. Dalam keadaan seperti inilah Allah mengutus Nabi Muhammad (SAW) untuk mengembalikan umat manusia kepada ajaran tauhid dan peradaban mulia Islam.
Mengenai hukum orang yang hidup di zaman fatrah, terdapat perdebatan di kalangan ulama. Pendapat pertama menyatakan bahwa mereka tidak dituntut untuk menjalankan kewajiban syariat dan tidak akan disiksa di akhirat. Pendapat ini didasarkan pada ayat: “Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS Al-Isra’: 15). Sementara itu, pendapat kedua berargumen bahwa mereka tetap dituntut untuk menjalankan syariat sesuai dengan ajaran sebelumnya. Mereka yang taat akan masuk surga, sementara yang durhaka akan dimasukkan ke dalam neraka.
Dengan demikian, peran Nabi Muhammad (SAW) sebagai penyeru tauhid setelah zaman fatrah sangatlah penting untuk mengembalikan umat manusia kepada ajaran yang benar dan sesuai dengan kehendak Allah.