- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kedudukan Manusia dan Malaikat dalam Islam

Google Search Widget

Secara potensial, Allah (SWT) telah menciptakan tiga makhluk: malaikat, manusia, dan hewan. Ketiganya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, ketiganya merupakan makhluk ciptaan Allah (SWT). Sementara perbedaannya terletak pada potensi yang dimiliki masing-masing. Malaikat hanya diberikan potensi akal tanpa nafsu, sehingga mereka sangat patuh kepada Allah (SWT) dan tidak memiliki kepentingan pribadi. Sementara itu, manusia memiliki akal dan nafsu, di mana nafsu ini menjadi tantangan dalam ketaatan kepada Tuhannya. Di sisi lain, hewan hanya memiliki nafsu tanpa akal, sehingga tidak memiliki beban syari’at (taklif), karena taklif hanya berlaku bagi makhluk yang memiliki akal.

Pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang lebih mulia antara malaikat dan manusia? Apakah malaikat yang tidak memiliki nafsu dan memiliki loyalitas ibadah total kepada Tuhannya, atau manusia yang memiliki potensi nafsu? Banyak ulama berpendapat bahwa manusia lebih mulia daripada malaikat, karena nafsu yang ada dalam diri manusia menjadi tantangan untuk menjaga loyalitas ibadah kepada Allah (SWT).

Syekh Syihabuddin al-Qastalani (w. 923 H), seorang ulama dari Mesir bermadzhab Syafi’i, dalam kitab Al-Mawahib al-Ladunniyah menjelaskan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai siapa yang lebih mulia. Sebagian ulama berpendapat bahwa malaikat lebih mulia, sementara yang lain berpendapat sebaliknya. Kelompok yang berpendapat bahwa malaikat lebih mulia berasal dari kalangan Mu’tazilah, para pakar filsafat, dan sebagian ulama Asya’irah. Pendapat ini didukung oleh beberapa argumen, di antaranya:

Pertama, malaikat adalah makhluk yang hanya berupa ruh tanpa jasad, sehingga terhindar dari nafsu dan keburukan lainnya. Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menjelaskan bahwa manusia berada di antara malaikat dan hewan, lebih mulia dari hewan tetapi lebih rendah dari malaikat.

Kedua, para nabi sebagai level manusia tertinggi belajar dari malaikat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (SWT) yang menyatakan bahwa malaikat yang kuat mengajarkan kepada mereka.

Ketiga, dalam Al-Qur’an dan hadits, penyebutan malaikat selalu lebih dulu daripada manusia, yang menunjukkan bahwa malaikat lebih mulia.

Namun, pendapat yang menyatakan manusia lebih mulia juga memiliki argumen yang kuat. Pertama, manusia memiliki akal dan nafsu, sehingga perjuangan dalam ketaatan kepada Allah (SWT) menjadi lebih berarti. Nafsu adalah pintu bagi setan untuk menggoda manusia, sehingga ibadah manusia memiliki tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan malaikat.

Kedua, meskipun malaikat mengajarkan para nabi, sejatinya yang mengajarkan adalah Allah (SWT). Ketiga, penyebutan malaikat yang didahulukan bukan karena prioritas, tetapi karena malaikat diciptakan lebih dahulu.

Syekh Syihabuddin al-Qastalani juga mengutip pendapat Syekh Sa’dudin al-Taftazani (w. 1390 M), yang menyatakan bahwa Allah (SWT) memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan. Ini menunjukkan bahwa yang disujudi (Adam) lebih mulia daripada yang bersujud (malaikat).

Dari berbagai argumen ini, dapat disimpulkan bahwa kedudukan manusia dan malaikat dalam Islam adalah tema yang kompleks dan penuh nuansa, di mana masing-masing memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri dalam menjalankan peran sebagai makhluk Allah (SWT).

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 15

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?