Fenomena takfir, yaitu tuduhan kekafiran terhadap individu atau kelompok lain, telah ada sejak awal penyebaran agama Islam dan tidak hanya muncul dalam dua dekade terakhir yang sering disertai dengan tindakan teror. Takfir muncul bersamaan dengan perkembangan berbagai mazhab dalam Islam, dan tuduhan ini sering kali dipicu oleh kepentingan tertentu. Dalam banyak kasus, tuduhan kafir dilontarkan tanpa argumentasi yang kuat dan hanya didasarkan pada perbedaan pandangan atau identitas kelompok politik dan sosial-keagamaan.
Al-Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa tuduhan kafir tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia berpendapat bahwa perlu ada penjelasan yang jelas mengenai batasan kafir dan tidak kafir, yang mencakup analisis mendalam terhadap berbagai pandangan dan mazhab pemikiran. Al-Ghazali menyadari bahwa penjelasan tersebut memerlukan kajian yang sangat luas, namun ia memberikan pesan singkat dalam karyanya, Fashlut Tafriqah, yang menekankan pentingnya menahan ucapan mengenai keimanan atau kekafiran terhadap mereka yang mengucapkan kalimat tauhid, selama mereka tidak membatalkannya.
Dalam pandangannya, Al-Ghazali menyatakan bahwa pengafiran dapat membawa bahaya, sedangkan diam dalam hal ini tidak berisiko. Ia juga mengutip pendapat Ibnu Kaisan yang menolak kewajiban imamah sebagai bagian dari keimanan. Menurut Ibnu Kaisan, tindakan mengaitkan imamah dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah berlebihan, karena imamah tidak termasuk dalam rukun iman yang enam.
Dari pemikiran Al-Ghazali, dapat disimpulkan bahwa ia membagi keimanan menjadi dua kategori: keimanan pada pokok-pokok agama Islam (ushuliyyah) dan keimanan pada informasi atau khabar dari Rasulullah (furuiyyah) yang bersumber dari jalur mutawatir. Pandangan ini diambil dari sumber-sumber primer keislaman, seperti Al-Qur’an, hadits, serta perilaku para sahabat dalam menghadapi perbedaan pandangan. Wallahu a‘lam.