Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam karyanya, Badzlul Ma‘un fi Fadhlit Tha‘un, mengemukakan empat pandangan teologis manusia mengenai penularan wabah penyakit. Pandangan pertama menyatakan bahwa wabah penyakit menular secara alamiah kepada manusia atau makhluk hidup lainnya, yang merupakan pandangan orang-orang kafir. Pandangan kedua berargumen bahwa penularan wabah terjadi melalui kekuatan yang diciptakan dan dititipkan oleh Allah, di mana hanya mukjizat untuk nabi atau karamah untuk wali yang dapat mencegah penularan tersebut. Pandangan ini dianggap lemah dan mungkin merujuk kepada kelompok Muktazilah.
Pandangan ketiga menyatakan bahwa penularan wabah bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan merupakan hukum kebiasaan yang ditetapkan oleh Allah (sunnatullah). Dalam hal ini, hukum kebiasaan dapat tidak berlaku pada waktu tertentu sesuai kehendak Allah, meskipun situasi seperti ini jarang terjadi. Pandangan terakhir, yang paling kuat menurut Al-Asqalani, berpendapat bahwa wabah penyakit tidak menular secara alamiah. Penyakit yang menjangkiti seseorang pada saat wabah sebenarnya telah diciptakan oleh Allah sejak awal, bukan akibat penularan. Fenomena di mana banyak orang sakit dapat menularkan penyakit, sementara orang sehat tidak tertular, menunjukkan bahwa semua itu terjadi atas takdir Allah SWT.
Al-Asqalani mengutip pendapat Qadhi Tajuddin RA yang menyatakan bahwa penularan wabah hanya berlaku sebagai hukum kebiasaan. Ia menjelaskan bahwa hadits Rasulullah SAW yang menolak penularan wabah penyakit merujuk kepada penularan yang bersifat alamiah, bukan yang terjadi atas kehendak dan kuasa Allah. Penjelasan ini sejalan dengan hukum ‘adi, salah satu kategori hukum dalam Ilmu Kalam menurut Ahlussunnah wal Jamaah, yang menegaskan bahwa hukum kebiasaan memiliki kekuatan tersendiri. Pandangan ini tetap tidak menafikan perintah agama untuk menjaga diri dari penyebaran wabah penyakit sesuai hukum kebiasaan. Wallahu a’lam.