Dalam memahami Dzat yang Mahabesar, penting untuk mencermati konsep tarkib atau penyusunan. Semua makhluk, termasuk manusia, tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil, seperti kepala, tubuh, tangan, dan kaki. Namun, para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) sepakat bahwa Dzat Allah (SWT) tidak tersusun dari bagian-bagian. Allah yang Mahasuci dari segala kekurangan tidak mungkin memiliki klasifikasi bagian atas, bawah, samping, depan, atau belakang. Pendapat ini merupakan kesepakatan semua ulama Ahlussunnah tanpa kecuali.
Sayangnya, terdapat pandangan berbeda dari Syekh Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa tarkib adalah suatu hal yang pasti ada pada segala yang wujud, termasuk Allah. Meskipun banyak yang terkejut dengan pernyataan ini, hal tersebut merupakan bagian dari aqidah beliau yang tertulis. Dalam pandangannya, terdapat empat jenis tarkib, di mana tiga di antaranya dijelaskan dalam karyanya, Majmu’ al-Fatawa, dan dianggap mustahil bagi Allah. Namun, beliau tetap menegaskan bahwa satu jenis tarkib lainnya pasti ada, yaitu pembagian yang menunjukkan bahwa bagian-bagian Dzat Allah (SWT) dapat diklasifikasikan.
Ibnu Taimiyah berargumen bahwa jika Allah terbagi-bagi, maka itu menunjukkan bahwa Allah tersusun, dan ini merupakan hal yang ia anggap tidak dapat dihindari. Pemikiran ini berpotensi menempatkan Allah dalam kategori makhluk, yang jelas bertentangan dengan prinsip ketuhanan. Dengan demikian, pandangan beliau tentang tarkib dan pembagian ini menunjukkan bahwa ia menganggap Allah sebagai sosok jism (fisikal) yang memiliki dimensi.
Dalam konteks ini, penting untuk menyadari bahwa pemikiran yang menganggap Allah memiliki dimensi atau tersusun dari bagian-bagian adalah bertentangan dengan faham Asy’ariyah-Maturidiyah yang menegaskan keesaan dan kesempurnaan Dzat Allah (SWT). Penolakan terhadap istilah “tajsim” bagi pemikiran semacam ini adalah sama dengan menolak istilah “pencurian” bagi tindakan mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman yang benar mengenai Dzat Allah (SWT) dalam konteks aqidah Islam.