- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Makna “Yad” dalam Konteks Ketuhanan

Google Search Widget

Istilah “yad” atau “tangan” dalam Al-Qur’an sering kali tidak dimaknai secara harfiah sebagai organ fisik. Dalam banyak ayat, makna kata ini bisa menjadi absurd jika dipaksakan untuk diartikan sebagai tangan dalam arti fisik. Oleh karena itu, penting untuk memahami “yad” secara metaforis, yang berarti bahwa kalimat tersebut dapat dipahami dengan lebih baik jika tidak terikat pada pengertian fisik semata.

Sebagian orang yang terpengaruh oleh aqidah tajsim, yaitu yang menganggap Allah sebagai jisim, berargumen bahwa meskipun “yad” mungkin bersifat metaforis, yang disifati dengan “yad” haruslah entitas yang benar-benar memiliki tangan secara fisik. Misalnya, ungkapan “tangan Zaid terbuka lebar” menunjukkan Zaid sebagai dermawan, tetapi itu tidak berarti Zaid tidak memiliki tangan fisik. Dalam konteks ini, ketika Allah berfirman bahwa “kedua tangan-Nya terbuka lebar”, mereka berpendapat bahwa Allah juga harus memiliki tangan secara fisik. Pandangan ini jelas keliru, karena ungkapan metaforis tidak memerlukan syarat tersebut.

Dalam bahasa Indonesia, kita memiliki ungkapan seperti “nyiur melambai-lambai”, yang jelas menunjukkan bahwa nyiur tidak memiliki tangan. Hal yang sama berlaku dalam bahasa Arab, di mana ungkapan yang menggunakan kata “yad” tidak selalu merujuk pada tangan dalam arti fisik. Sebagai contoh, dalam Surat al-Mujadilah ayat 12, ungkapan “di antara kedua tangan pembicaraan kalian” tidak berarti bahwa pembicaraan itu memiliki tangan secara fisik.

Imam Abu Manshur al-Maturidi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ungkapan “di antara kedua tangan” tidak dimaksudkan sebagai anggota badan. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa memahami ungkapan tersebut dengan cara yang sama seperti kita memahami istilah fisik.

Jika kata “yad” tidak bermakna tangan dalam arti fisik, lalu apa artinya? Para ulama memiliki berbagai pandangan. Sebagian memilih untuk tidak memberikan makna spesifik dan menyerahkan makna sebenarnya kepada Allah, yang dikenal sebagai tafwidh. Sementara itu, sebagian lainnya memilih untuk memaknai “yad” dengan makna alternatif seperti kenikmatan, kebaikan, kekuasaan, atau kemampuan, yang semuanya dapat disematkan kepada Allah tanpa keraguan.

Gugatan terhadap pemaknaan ini juga muncul dari bentuk kata “yad” yang berjumlah dual, “yadani”, yang secara literal berarti “dua tangan”. Namun, ungkapan metaforis “dua tangan” tidak harus berarti dua entitas fisik. Dalam bahasa Arab, istilah serupa digunakan untuk menekankan makna tertentu, bukan untuk menunjukkan angka. Misalnya, dalam ungkapan “Aku tidak mempunyai dua tangan untuk fulan”, maknanya adalah aku tidak mempunyai kekuatan.

Penggunaan redaksi “dua tangan” sering kali berfungsi sebagai penekanan, bukan sebagai penggambaran fisik yang konkret. Oleh karena itu, penting untuk memahami konteks dan makna yang lebih dalam dari istilah “yad” dalam Al-Qur’an dan tidak terjebak pada pengertian fisik semata. Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 15

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?