Nahdlatul Ulama (NU) telah lama dikenal sebagai organisasi yang mengamalkan dan mendakwahkan agama Islam dengan pendekatan yang penuh kesantunan, kedamaian, dan kebijakan. Pendekatan ini mencakup interaksi dengan non-Muslim dan mereka yang belum mengenal Islam. Namun, ada anggapan yang muncul bahwa NU terlalu dekat dengan non-Muslim, sehingga dapat merugikan perjuangan umat Islam. Selain itu, muncul pula kritik yang menyatakan bahwa NU saat ini berbeda dengan NU yang dipimpin oleh Hadlratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari.
Salah satu contoh yang menunjukkan cara dakwah yang bijaksana dari KH Muhammad Hasyim Asy’ari adalah kisah Karl Von Smith, seorang arsitek kewarganegaraan Belanda yang lahir di Hannover, Jerman. Selama berada di Hindia Belanda, Karl bertemu dengan Kiai Hasyim dan terlibat dalam diskusi panjang selama berbulan-bulan. Kiai Hasyim menjelaskan ajaran Islam dengan cara yang sederhana dan logis, menggunakan referensi yang sudah dikenal oleh Karl dari ajaran Nasrani yang dianutnya. Kiai Hasyim tidak langsung menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an atau Hadits, tetapi lebih kepada penjelasan yang dapat dipahami oleh Karl.
Setelah 10 bulan berdiskusi, Kiai Hasyim mulai memperkenalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan nasihat-nasihat yang bijaksana, yang semakin membuka hati Karl untuk memahami Islam lebih dalam. Ketika Karl menunjukkan ketertarikan untuk memeluk Islam, Kiai Hasyim memberikan kebebasan untuk memilih agama yang diinginkan, dengan syarat bahwa pilihan tersebut harus berdasarkan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam.
Akhirnya, Karl memutuskan untuk memeluk Islam dan mengikrarkan syahadat. Ia disambut hangat oleh para santri, yang menandakan bahwa ia kini menjadi bagian dari komunitas baru dalam kehidupannya di Hindia Belanda. Kisah ini menunjukkan bagaimana Kiai Hasyim Asy’ari meneladankan mu’amalah yang baik antara Muslim dan non-Muslim, serta pentingnya dialog yang berbasis pada pengertian dan kebijaksanaan.
Prinsip hubungan harmonis antarumat beragama ini terus dilanjutkan oleh generasi ulama berikutnya, dari KH Abdul Wahid Hasyim hingga Gus Dur, dan tetap menjadi bagian dari ajaran NU hingga saat ini. Hal ini sejalan dengan spirit ilahi dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, dan bahwa pemahaman yang baik harus menjadi dasar dalam memilih keyakinan.
Dengan pendekatan yang penuh hikmah dan pengertian, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad (SAW) dan Walisongo, NU terus berkomitmen untuk membangun relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim dalam masyarakat.