Para ulama tauhid sepakat bahwa makna dari kalimat Lâ ilâha illallâh adalah Lâ ma‘bûda bihaqqin illallâh, yang berarti tiada tuhan yang disembah dengan hak kecuali Allah. Ini berbeda dengan pengertian Lâ ma‘bûda illallâh yang berarti tiada tuhan yang disembah selain Allah, yang akan menimbulkan asumsi bahwa ada tuhan-tuhan lain yang disembah. Sebenarnya, semua tuhan selain Allah adalah batil. Oleh karena itu, makna yang tepat dari Lâ ilâha illallâh adalah bahwa hanya Allah yang berhak disembah.
Secara retorika, kalimat Lâ ilâha illallâh disusun dengan gaya bahasa qashr nafyi dan itsbat, yang berarti menegasikan yang lain dan menetapkan satu-satunya. Dengan kata lain, kalimat ini menegaskan bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Jika hanya menggunakan penetapan, maka tidak ada pencegahan terhadap keberadaan tuhan lain. Sebaliknya, jika hanya menggunakan negasi, maka semua tuhan, termasuk Allah, akan ternafikan. Oleh karena itu, pengucapan Lâ ilâha saja tidak cukup, begitu juga dengan allâhu ilâhun yang hanya menyatakan bahwa Allah adalah tuhan tanpa menegaskan keesaan-Nya.
Al-Qur’an memperkuat kalimat tauhid ini dengan sifat, seperti dalam ayat: “Wa ilâhukum ilâhun wâhid” (Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa) (QS al-Baqarah [2]: 163). Dalam kalimat ini, sifat “yang maha esa” menegaskan keesaan Allah, dan dilanjutkan dengan Lâ ilâha illâ huwar rahmânurrahîm (Tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) (QS al-Baqarah [2]: 163).
Selain bermakna Lâ ma‘bûda bihaqqin illallâh, kalimat ini juga memiliki makna Lâ maujûda bihaqqin illallâh (tiada yang ada dengan hak kecuali Allah) dan Lâ masyhûda bihaqqin illallâh (tiada yang disaksikan dengan hak kecuali Allah). Makna Lâ ma‘bûda bihaqqin illallâh ditegaskan dalam surah al-Fatihah dengan kalimat Iyyaka na‘budu (Hanya kepada Engkau kami menyembah). Gaya bahasa yang digunakan adalah qashr taqdim ma haqquhu al-ta’khir, yang menekankan bahwa hanya Allah yang layak disembah.
Mengenai Lâ maujûda bihaqqin illallâh, ini menunjukkan bahwa segala wujud yang ada adalah karena Allah. Wujud yang hakiki hanya dimiliki oleh Allah, sedangkan wujud lainnya bersifat sementara dan tidak kekal. Dalam konteks Lâ masyhûda bihaqqin illallâh, tidak ada yang disaksikan dengan hak kecuali Allah. Segala sesuatu yang dilihat adalah manifestasi dari kebesaran-Nya.
Para ulama tasawuf membagi makna Lâ ma‘bûda ini dalam tiga tingkatan: syariat, tarekat, dan hakikat. Dari tiga makna tersebut, muncul berbagai turunan seperti Lâ maqshûda bihaqqin illallâh (tiada yang dituju dengan hak selain Allah) dan Lâ maqdûra bihaqqin illallâh (tiada yang dikuasakan dengan hak selain Allah).
Untuk mendukung pemahaman ini, terdapat delapan syarat yang harus dipenuhi, yaitu: pengetahuan, keyakinan, penerimaan, kepatuhan, keikhlasan, kejujuran, kecintaan, dan kekufuran terhadap segala sesuatu selain Allah. Dengan memahami makna Lâ ilâha illallâh secara mendalam, seseorang akan terhindar dari segala bentuk penghalang dalam beribadah dan hanya akan memfokuskan pengabdiannya kepada Allah semata.