Dalam tradisi Asy’ariyah yang menjadi dasar teologi Ahlussunnah wal Jamaah, konsep al-wala wal bara sering kali menjadi perdebatan. Para ulama Aswaja umumnya tidak memasukkan al-wala wal bara ke dalam aqidah yang harus diyakini oleh umat Islam. Aqidah tersebut lebih berfokus pada sifat-sifat Allah, para rasul, takdir, malaikat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan setelah mati.
Sayyid Sa‘id Abdul Ghani dalam karyanya, Haqiqatul Wala wal Bara fi Mu’taqadi Ahlissunnah wal Jamaah, memberikan penjelasan awal tentang hubungan antara al-wala wal bara dan keimanan. Ia mengutip Syekh Ibnu Taimiyah yang menjelaskan bahwa keimanan menafikan cinta terhadap musuh Allah dan Rasul-Nya. Jika seseorang mencintai musuh Allah, itu menjadi tanda bahwa keimanannya diragukan.
Konsep al-wala wal bara pertama kali diperkenalkan secara teoritis oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri Mazhab Wahabi. Dalam karyanya, Muhammad bin Abdul Wahhab menekankan pentingnya tiga hal yang harus diperhatikan oleh umat Islam: pengakuan akan Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki, larangan menyekutukan Allah, dan tidak menjadikan musuh Allah sebagai teman dekat.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menambahkan penjelasan tentang al-wala wal bara dengan mengutip beberapa ayat Al-Qur’an yang menunjukkan pentingnya menjauhi orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Ia menekankan bahwa loyalitas kepada orang-orang kafir dapat merusak keimanan seseorang.
Meskipun konsep al-wala wal bara ini merupakan bagian dari ajaran agama, masalah muncul ketika konsep ini digunakan sebagai alat ukur keimanan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan praktik eksklusi, penghakiman, bahkan penindasan terhadap orang-orang yang dianggap tidak sejalan, termasuk kerabat sendiri. Oleh karena itu, pemahaman dan pelaksanaan al-wala wal bara dalam konteks aqidah Islam perlu ditinjau secara kritis agar tidak melampaui batas yang seharusnya.