Al-wala secara harfiah berarti loyalitas, sedangkan al-bara berarti berlepas diri. Dalam ajaran Islam, umat Muslim diperintahkan untuk menunjukkan loyalitas kepada sesama Muslim dan dilarang untuk memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir. Selain itu, Islam juga menginstruksikan umatnya untuk berlepas diri dari kekufuran, kesesatan, dan kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Banyak dalil dalam agama yang menunjukkan pentingnya konsep al-wala wal bara, meskipun kadang-kadang pemahaman tentangnya dapat menjadi ekstrem dalam praktik sosial dan politik, sering kali melampaui batas yang seharusnya.
Beberapa ayat Al-Qur’an yang sering dirujuk dalam konteks ini adalah Surat Al-Ma’idah ayat 51 dan Surat Al-Mujadalah ayat 22. Surat Al-Ma’idah ayat 51 menyatakan bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Dalam Surat Al-Mujadalah ayat 22, dinyatakan bahwa orang-orang yang beriman tidak akan mendapati orang-orang yang beriman saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah keluarga dekat.
Pengamalan ajaran al-wala wal bara sering kali terjebak dalam dua bentuk ekstrem yang berlawanan. Di satu sisi, ajaran ini dapat dipahami secara berlebihan sebagai sikap sosial dan politik yang eksklusif dan intoleran, yang pada akhirnya dapat berujung pada terorisme, ekstremisme, atau radikalisme. Di sisi lain, ada pemahaman yang berlebihan yang mengarah pada sikap inklusif tanpa batas, yang bisa berujung pada liberalisme dan sekularisme. Kedua pemahaman ekstrem ini terjebak dalam absolutisme yang tidak moderat dan dapat dianggap tercela dalam agama, meskipun keduanya memiliki dasar dalil yang kuat.
Al-wala wal bara dipahami oleh sebagian kalangan sebagai pembentukan identitas sosial-politik seorang Muslim yang berbasis pada aqidah. Di Indonesia, hal ini terlihat dalam politik identitas yang muncul dalam berbagai momen politik, seperti Pilpres 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, dan Pilpres 2019. Politisasi ayat-ayat dalam kitab suci, rumah ibadah, serta khutbah dan ceramah agama sering kali digunakan untuk mendukung agenda politik tertentu, bahkan sampai mengafirkan pendukung calon pemimpin non-Muslim.
Al-wala wal bara menuntut agar umat Muslim berada dalam situasi yang mencekam dan bersaing berdasarkan aqidah. Konsep ini memosisikan umat Islam seolah-olah dalam keadaan darurat yang memerlukan kewaspadaan untuk mengkategorikan orang lain sebagai teman atau musuh. Dalam hal ini, al-wala mengharuskan seorang Muslim untuk loyal kepada komunitas Muslim dan menuntut untuk menjauhi orang-orang kafir. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an melarang umat Islam menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin atau sahabat akrab, hanya memperkenankan persaudaraan di antara sesama Muslim.
Al-bara, di sisi lain, adalah tuntutan untuk berlepas diri dari kekufuran dan kesesatan, serta dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ini mencakup perintah untuk memusuhi dan menjauhi kekafiran dan kemusyrikan, serta orang-orang kafir. Salah satu kesalahan dalam memahami al-wala wal bara adalah menjadikannya sebagai alat ukur untuk menilai keimanan orang lain, yang dapat menyebabkan perpecahan di antara umat Islam itu sendiri.