Imam Ahmad dari kalangan ulama Salaf secara tegas menyatakan bahwa Allah bukanlah jism. Pernyataan ini juga didukung oleh para imam lainnya, seperti Imam Abu Hanifah yang menegaskan bahwa sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat-sifat makhluk. Ia menyatakan bahwa Allah adalah sesuatu yang tidak menyerupai apapun dan tidak dapat digambarkan dengan atribut fisik seperti jism, unsur pembentuk jism, atau batasan lainnya. Dalam kitabnya, Imam Abu Hanifah menekankan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki makhluk, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Imam Syafi’i, yang dikutip oleh Imam as-Suyuthi, juga menegaskan bahwa tidak ada seorang pun dari ahli kiblat yang boleh dikafirkan kecuali kaum mujassimah, yaitu mereka yang menganggap Allah sebagai jism. Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami merangkum pendapat para imam mazhab mengenai hal ini, menyatakan bahwa mereka sepakat bahwa orang yang mengklaim Allah memiliki bentuk fisik adalah kafir.
Meskipun ada sebagian ulama Salaf yang tidak menggunakan istilah “jism” dalam menjelaskan aqidah, mereka tetap menggunakan redaksi yang menunjukkan karakteristik jism. Imam Abu Bakar al-Isma’ili, misalnya, menegaskan dalam kitabnya bahwa Dzat Allah tidak dapat diyakini berupa organ atau atribut fisik lainnya, dan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Walaupun status kafirnya para mujassimah masih diperdebatkan, banyak ulama yang dengan tegas menyatakan bahwa Allah bukanlah jism, baik dari kalangan Salaf maupun Khalaf, yang tercatat dalam berbagai kitab. Ini membantah klaim bahwa istilah jism tidak dikenal di kalangan ulama Salaf. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Mulla Ali al-Qari al-Hanafi, jism adalah sesuatu yang tersusun dan memiliki batas fisik, yang merupakan tanda kebaruan.
Imam Ibnu Jarir at-Thabari menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu di dunia yang tampak kecuali jism atau hal yang melekat pada jism. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak terlepas dari kebaruan pastilah diciptakan oleh sesuatu yang tidak sama dengan jism. Allah adalah yang Maha Esa dan tidak ada yang menyerupai-Nya.
Implikasi praktis dari aqidah bahwa Dzat Allah bukan jism adalah bahwa seluruh sifat Allah harus dipahami tanpa mengaitkannya dengan sifat fisik. Ketika Allah menyatakan Maha Mendengar, itu bukan berarti mendengar yang memerlukan alat pendengaran, dan begitu pula dengan sifat-sifat lainnya. Sifat-sifat Allah ditetapkan sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan hadis, tetapi makna jismiyahnya dihilangkan karena Allah tidak mungkin berupa jism.
Imam al-Hafidz al-Baihaqi al-Asy’ary menegaskan bahwa istiwa’ Allah bukanlah dalam arti fisik atau berada di suatu tempat. Sifat-sifat Allah seperti kedatangan, kehadiran, dan turunnya tidak dapat dipahami sebagai perpindahan fisik. Semua sifat tersebut adalah yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad tanpa ada pertanyaan mengenai tata cara atau makna leksikalnya.
Setiap jism pasti ada yang merancang, sehingga tidak layak untuk dipertuhankan. Kesalahan manusia dalam memilih Tuhan sering kali disebabkan oleh penggambaran jism, seperti berhala, api, atau benda-benda lain. Jism hanya layak untuk dijadikan objek penelitian, bukan untuk disembah. Oleh karena itu, para ulama merumuskan kaidah bahwa setiap apa yang terbayang di benak manusia, Allah berbeda dari itu.