- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kalamullah: Antara Suara dan Hati

Google Search Widget

Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) menegaskan bahwa sifat kalamullah atau firman Allah tidaklah terbatas pada suara dan huruf, meskipun dalam interaksi antarmakhluk, kalam tersebut sering ditransmisikan melalui suara dan huruf. Kritik terhadap pandangan ini muncul dari kalangan tertentu yang berpendapat bahwa kalam pasti harus berupa suara dan huruf. Namun, argumen ini telah dibahas dan dijawab dengan dalil rasional sebelumnya. Dalam tulisan ini, akan disajikan dalil-dalil naqlî yang menunjukkan bahwa kalam tidak selalu harus berbentuk suara dan huruf, yang juga telah disinggung dalam Al-Qur’an.

Salah satu dalil yang diajukan adalah firman Allah dalam Surah al-Munafiqun: 1 yang menyatakan bahwa orang-orang munafik berdusta karena perkataan mereka tidak sesuai dengan apa yang ada di hati mereka. Ini menunjukkan bahwa ada perkataan dalam hati yang tidak memerlukan suara atau huruf. Ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an juga menegaskan hal ini, seperti dalam Surah al-Mujadilah: 8 dan Surah Thaha: 7, yang menunjukkan bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati manusia.

Perkataan dalam hati, yang dikenal dengan istilah kâlâm nafsî, juga ditemukan dalam hadits. Contohnya, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa orang yang beriman dengan lisannya tetapi hatinya tidak beriman, dilarang untuk menggunjing sesama Muslim. Hadits lain menyatakan bahwa penyesalan atas maksiat adalah bentuk taubat meskipun tidak diungkapkan dengan suara.

Lebih jauh, Sayyidina Umar juga menyebutkan bahwa ia mempersiapkan kalam dalam hatinya, yang menunjukkan bahwa kalam tidak selalu memerlukan suara. Bahkan, dalam hadits lain disebutkan bahwa Allah juga mengetahui apa yang disebutkan dalam hati hamba-Nya, meskipun berbeda hakikatnya dengan manusia.

Dari semua dalil ini, dapat disimpulkan bahwa jika kalam manusia tidak selalu berupa suara dan huruf, maka tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa kalamullah harus demikian. Anggapan bahwa kalamullah pasti berupa suara dan huruf berasal dari pemikiran yang menyamakan mekanisme kalam Allah dengan kalam manusia yang sehari-hari kita gunakan. Perbedaan mendasar terletak pada fakta bahwa kalam Allah yang tidak bersuara dapat dipahami oleh siapa pun yang dikehendaki-Nya, sementara perkataan dalam hati manusia tidak dapat dipahami oleh orang lain.

Dengan demikian, komunikasi antara Allah dan para utusan-Nya tetap dapat berlangsung meskipun kalam tersebut tidak selalu terucap dalam bentuk suara. Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?