Dalam diskursus mengenai sifat Allah, sering kali muncul pertanyaan terkait apakah Allah (SWT) bersuara. Menurut mazhab Ahli Hadits, Allah (SWT) tidak bersuara karena Dzat-Nya tidak mungkin memproduksi suara atau apapun yang bersifat fisik. Namun, ada anggapan bahwa suara Allah (SWT) adalah qadim, yang berarti ada tanpa awal mula dan berbeda mutlak dengan suara makhluk. Hal ini menimbulkan perdebatan, terutama ketika terdapat hadits yang menyatakan bahwa Allah (SWT) memanggil manusia dengan suara.
Suara yang dapat didengar oleh telinga manusia umumnya bersumber dari getaran dan memerlukan media untuk merambat. Oleh karena itu, jika suara Allah (SWT) dimaksudkan untuk didengar oleh makhluk, maka suara tersebut haruslah berupa suara biasa yang dapat didengar oleh makhluk. Imam al-Baqillani menyatakan bahwa kita hanya dapat mendengar suara yang ada saat ini dan tidak ada suara lain yang dapat diterima oleh indera manusia. Ia menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan suara dan huruf Allah (SWT) adalah qadim, berarti menolak keberadaan al-Qur’an yang kita miliki saat ini.
Dalam konteks ini, nalar para tokoh yang berpendapat bahwa Allah (SWT) bersuara sebenarnya paralel dengan pemikiran Muktazilah, yang menolak keberadaan kalam Allah (SWT). Keduanya meyakini bahwa sifat kalam pasti berupa suara dan huruf. Muktazilah menolak sifat kalam dari Dzat Allah (SWT) dengan alasan bahwa setiap suara dan huruf pasti makhluk. Sementara itu, tokoh yang berpendapat bahwa Allah (SWT) bersuara namun suaranya berbeda sifat tidak konsisten, karena mereka menetapkan adanya suara bagi Dzat Allah (SWT) yang dapat didengar manusia, tetapi menyatakan bahwa suara tersebut bukan makhluk, yang tampaknya tidak logis.
Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyebutkan bahwa di hari kiamat, Allah (SWT) memanggil manusia dengan suara. Namun, para ulama hadits memiliki pandangan berbeda mengenai hal ini. Sebagian, seperti Imam al-Baihaqi, meragukan validitas tambahan redaksi “dengan suara” dalam hadits tersebut, berpendapat bahwa itu mungkin hanya redaksi dari perawi. Di sisi lain, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menganggapnya valid secara sanad, tetapi menekankan bahwa maknanya harus diserahkan kepada Allah (SWT) (tafwidh) atau ditakwil.
Salah satu takwilan mengenai redaksi “dengan suara” adalah bahwa Allah (SWT) menciptakan suara agar dapat didengar manusia, atau menjadikan seorang malaikat yang memanggil. Imam Badruddin al-Aini menggarisbawahi bahwa kalam Allah (SWT) bukanlah berupa huruf dan suara. Dalam hal ini, pemahaman yang tepat mengenai suara Allah (SWT) harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh kehati-hatian, mengingat keterbatasan nalar manusia dalam memahami Dzat yang Maha Agung.