- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kalamullah dan Konsekuensinya

Google Search Widget

Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat bahwa Allah subhanahu wata’ala berwahyu kepada para malaikat dan rasul melalui kalam-Nya. Dalam pandangan ulama Asy’ariyah, sifat kalam merupakan salah satu sifat wajib yang dimiliki oleh Tuhan. Tanpa kalam, Dzat yang dianggap Tuhan tidak mungkin bisu. Dalam Al-Qur’an, ada banyak ayat yang menegaskan bahwa Allah berkalam, salah satunya adalah firman-Nya yang berbunyi: وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمًا (QS. an-Nisa’: 164), yang menunjukkan bahwa Allah berbicara langsung kepada Nabi Musa (AS).

Namun, timbul pertanyaan mengenai apakah kalamullah itu berupa suara. Banyak orang beranggapan bahwa kalam manusia dilakukan dengan suara, sehingga ada yang berpendapat bahwa Allah juga berbicara dengan suara. Misalnya, Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa kalam Allah kepada Musa adalah ucapan yang nyata, dengan huruf dan suara yang didengar oleh Musa. Namun, pandangan ini ditentang oleh banyak ulama teologi yang lebih teliti. Mereka berargumen bahwa istilah “ucapan yang nyata, dengan huruf dan suara” tidak didukung oleh ayat atau hadits yang sahih. Yang ada hanyalah penegasan bahwa Allah berfirman, tanpa menjelaskan suara atau huruf yang biasa digunakan manusia untuk berkomunikasi.

Imam al-Qasthalani menjelaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan para ulama lebih kepada makna kalamullah dan sifatnya, bukan pada keberadaan kalam itu sendiri. Menurut para Ahli Hadits, kalamullah bukanlah suara atau huruf, melainkan sifat yang ada tanpa awal mula (azali) dalam Dzat Allah Ta’ala, yang menunjukkan bahwa Allah tidak pernah diam ketika memiliki kemampuan untuk berbicara.

Alasan utama mengapa mazhab Ahli Hadits menolak ide bahwa Allah bersuara adalah karena suara dan huruf hanya bisa berasal dari jism (badan fisik). Dengan demikian, menyatakan bahwa Allah bersuara sama dengan menyatakan bahwa Dzat-Nya adalah jism. Selain itu, suara dan huruf adalah sesuatu yang bersifat berubah dan merupakan makhluk, yang bertentangan dengan sifat Allah yang tidak melahirkan makhluk.

Dalam surat al-Ikhlas, Allah dinyatakan tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, yang menunjukkan bahwa Dzat-Nya tidak mengeluarkan apapun dari dirinya, termasuk suara. Ilmu modern juga menyatakan bahwa suara adalah gelombang getar yang memerlukan media untuk dapat terdengar, sehingga tidak layak jika suara dianggap sebagai sesuatu yang keluar dari Dzat Allah.

Lalu, bagaimana wahyu disampaikan jika tanpa suara? Jawabannya terletak pada ilham yang langsung dipahami oleh para utusan. Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa konsekuensi dari pendapat yang menolak suara dari Allah adalah bahwa Allah tidak memperdengarkan kalam-Nya dalam bentuk suara kepada malaikat dan rasul-Nya, melainkan mengilhamkannya kepada mereka.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 15

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?