Dalam interaksi sehari-hari, terkadang kita mendengar ungkapan yang menyebut Allah sebagai “orang”, seperti dalam kalimat “tidak ada orang yang bisa menolongmu kecuali Allah” atau “Allah adalah orang yang bisa menyelamatkanmu”. Penyebutan ini juga dapat ditemukan dalam beberapa hadits sahih. Namun, dari perspektif ilmu tauhid, apakah diperbolehkan untuk menyebut Allah sebagai “orang”?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “orang” memiliki makna manusia. Oleh karena itu, menyebut Allah sebagai orang sama dengan menyebut-Nya sebagai manusia, yang jelas tidak tepat. Dalam bahasa Arab, kata “orang” diterjemahkan sebagai “syakhsun” (شخص). Menurut Imam al-Qurthubi, yang dinukil oleh Imam Ibnu Hajar, istilah syakhsun merujuk pada badan manusia dan jism-nya (جِرْمِ الْإِنْسَانِ وَجِسْمِهِ) serta digunakan untuk segala sesuatu yang tampak atau dhahir. Dengan demikian, Imam al-Qurthubi menegaskan bahwa makna ini tidak dapat diterapkan pada Allah, dan semua teks hadits yang menggunakan istilah tersebut harus ditakwil dengan makna yang benar. Contohnya, redaksi “tak seorang pun” dimaknai sebagai “tak satu pun” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâry, vol. XIII, hal. 401-402).
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Imam Sulaiman al-Khatthabi, sebagaimana dinukil oleh Imam al-Baihaqi. Ia menyatakan bahwa penggunaan istilah “syakhs” dalam sifat Allah Yang Maha Suci tidaklah diperbolehkan, karena istilah tersebut hanya digunakan untuk sesuatu yang memiliki bentuk fisik. Oleh karena itu, sifat fisik seperti ini tidak ada pada Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi (al-Baihaqi, al-Asmâ’ was-Shifât, vol. II, hal. 54).
Dalam beberapa hadits, terdapat penggunaan kata “orang” (syakhsun) untuk Allah, seperti dalam hadits riwayat Muslim yang berbunyi: وَلَا شَخْصَ أَغْيَرُ مِنْ اللهِ “Tidak ada orang yang lebih cemburu daripada Allah” (HR. Muslim). Namun, para ulama menjelaskan bahwa makna hadits tersebut tidak dapat dipahami secara harfiah bahwa Allah adalah orang atau manusia. Al-Qurthubi dan lainnya menerima keabsahan redaksi tersebut, tetapi menegaskan perlunya takwil dengan makna yang lebih sesuai, seperti yang dirumuskan dalam hadits riwayat Imam Bukhari: لاَ أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللهِ “Tidak ada satu pun yang lebih cemburu daripada Allah” (HR. Bukhari).
Berbeda dengan al-Qurthubi, Imam al-Khatthabi menolak redaksi tersebut dan berpendapat bahwa istilah “syakhsun” dalam hadits itu tidak benar dan merupakan kesalahan dari perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut secara maknawi. Ia menyatakan: وَخَلِيقٌ أَنْ لَا تَكُونَ هَذِهِ اللَّفْظَةُ صَحِيحَةً، وَأَنْ تَكُونَ تَصْحِيفًا مِنَ الرَّاوِي “Pasti redaksi ini tidak sahih dan merupakan penyelewengan dari perawinya” (al-Baihaqi, al-Asmâ’ was-Shifât, vol. II, hal. 54).
Kesimpulannya, menyebut Allah sebagai “orang” dalam percakapan sehari-hari adalah tidak benar dan tidak berdasar. Sebaiknya, ketika menyebut Tuhan, kata “orang” sebaiknya dihindari atau diganti dengan istilah lain yang lebih sesuai dengan kaidah penyucian Allah dari keserupaan. Misalnya, kita dapat mengucapkan “tidak ada yang bisa menolongmu kecuali Allah” atau “tidak ada penolong bagi kondisi ini kecuali Allah”. Wallahu A’lam.