- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kemaksuman Nabi Adam (AS) dan Argumentasi yang Mengelilinginya

Google Search Widget

Dalam pembahasan mengenai kemaksuman para nabi, khususnya Nabi Adam (AS), terdapat berbagai pandangan yang perlu dicermati. Dalam kitab ‘Ishmah al-Anbiyâ’, Imam Fakhruddin al-Razi (544-606 H) menyajikan argumen dari berbagai pihak yang mempertanyakan kemaksuman Nabi Adam (AS). Di antara mereka adalah sekte Khawarij dan Rafidah yang berpendapat bahwa para nabi dapat melakukan dosa, termasuk kekufuran. Imam al-Razi menegaskan bahwa umat Islam secara umum sepakat bahwa para nabi terjaga dari kekufuran dan bid’ah, meskipun ada kelompok kecil yang meragukan hal ini.

Fokus pembahasan ini adalah kemaksuman Nabi Adam (AS) yang sering dipertanyakan oleh kelompok-kelompok tersebut. Mereka mengemukakan enam argumen yang menjadi dasar penentangan terhadap kemaksuman Nabi Adam (AS). Pertama, mereka merujuk pada firman Allah dalam QS. Thâhâ ayat 121 yang menyatakan bahwa Adam (AS) durhaka kepada Tuhannya. Kedua, mereka berargumen bahwa Adam (AS) bertaubat, dan setiap orang yang bertaubat dianggap sebagai pendosa. Ketiga, mereka menekankan bahwa Adam (AS) melanggar larangan Allah sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-A’raf ayat 22. Keempat, mereka mengklaim bahwa Allah menamakan Adam (AS) sebagai orang zalim dalam QS. Al-Baqarah ayat 35. Kelima, Adam (AS) mengakui bahwa tanpa ampunan Allah, ia termasuk orang yang merugi, sebagaimana tertuang dalam QS. Al-A’raf ayat 23. Terakhir, mereka berargumen bahwa Adam (AS) dikeluarkan dari surga karena mengikuti bisikan syaitan.

Menanggapi argumen-argumen ini, Imam Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa semua kejadian tersebut terjadi sebelum masa kenabian, sehingga tidak dapat diterapkan pada Nabi Adam (AS) sebagai seorang nabi. Ia menegaskan bahwa Nabi Adam (AS) adalah manusia pertama yang beriman kepada Allah dan belum memiliki objek dakwah. Dengan demikian, enam argumen tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk meragukan kemaksuman Nabi Adam (AS).

Imam al-Razi kemudian membahas satu per satu dari enam argumen tersebut. Ia berpendapat bahwa kemaksiatan tidak selalu berarti melanggar perintah yang bersifat wajib, melainkan bisa juga berupa meninggalkan anjuran. Dalam konteks ini, Nabi Adam (AS) hanya meninggalkan anjuran dan bukan kewajiban. Selain itu, taubat tidak selalu disyaratkan setelah melakukan dosa, karena taubat yang baik bisa dilakukan tanpa harus berdosa terlebih dahulu.

Selanjutnya, mengenai larangan yang dilanggar oleh Nabi Adam (AS), Imam al-Razi menyatakan bahwa larangan tidak selalu berarti pengharaman, dan bisa jadi Nabi Adam (AS) melakukannya dalam keadaan lupa, sehingga tidak dapat dikenakan beban dosa. Mengenai penamaan Adam (AS) sebagai orang zalim, pandangan yang mempertahankan kemaksuman para nabi menjelaskan bahwa zalim tidak selalu berarti melakukan dosa, tetapi juga bisa berarti meninggalkan perbuatan yang utama.

Dalam hal keluarnya Nabi Adam (AS) dari surga, Imam al-Razi berpendapat bahwa hal itu bukanlah akibat dari kesalahan, melainkan bagian dari rencana Allah untuk menjadikannya sebagai khalifah di bumi. Dengan demikian, seluruh rangkaian peristiwa yang dialami Nabi Adam (AS) bisa dipahami sebagai bagian dari keteladanan yang akan dihadapi oleh umat manusia.

Secara keseluruhan, Imam Fakhruddin al-Razi memberikan penjelasan yang mendalam mengenai kemaksuman Nabi Adam (AS) dan merespons argumen-argumen yang menentangnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang kemaksuman para nabi, terutama Nabi Adam (AS), adalah penting untuk menjaga akidah umat Islam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?