Sejak berkembangnya dakwah Wahhabiyah di Indonesia, banyak literatur keagamaan yang membahas pembagian tauhid menjadi tiga kategori: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ was-Shifat. Sebelumnya, istilah-istilah ini mungkin kurang familiar di kalangan umat Islam, meskipun konsep tauhid telah dipahami dengan baik dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah).
Pembagian tauhid ini, meski menjadi perdebatan, seharusnya tidak mengaburkan pemahaman mendasar bahwa keduanya—Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah—merupakan satu kesatuan. Tauhid Rububiyah menjelaskan bahwa Allah (SWT) adalah satu-satunya Pencipta alam semesta, sementara Tauhid Uluhiyah menegaskan bahwa Allah (SWT) adalah satu-satunya yang layak disembah.
Klasifikasi ini tidaklah baru. Imam at-Thabari, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa orang-orang Arab pada masa jahiliyah mengakui keesaan Allah, tetapi mereka menyekutukan-Nya dalam ibadah. Keduanya, “rabb” dan “ilah”, memiliki makna yang berbeda, tetapi dalam praktiknya, keduanya tidak dapat dipisahkan.
Kata “rabb” merujuk pada sosok yang menciptakan dan merawat, sementara “ilah” berarti sosok yang disembah. Dalam Al-Qur’an, Allah (SWT) menegaskan bahwa orang-orang musyrik menjadikan para malaikat dan nabi sebagai “rabb”, menunjukkan bahwa kata tersebut juga memiliki makna sesembahan.
Praktik penyembahan berhala pada masa jahiliyah menunjukkan bahwa mereka tidak sembarangan memilih objek untuk disembah. Mereka menyembah patung-patung karena meyakini bahwa patung tersebut memiliki andil dalam aspek rububiyah, meskipun secara fisik tidak memiliki kemampuan.
Oleh karena itu, pembedaan antara Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah lebih bersifat teoritis. Dalam praktiknya, keduanya saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Klaim bahwa kaum musyrik jahiliyah bertauhid dalam aspek rububiyah namun musyrik dalam aspek uluhiyah adalah tidak tepat.
Akhirnya, penting untuk menyadari bahwa tantangan yang dihadapi para Nabi tidak hanya berasal dari kaum musyrik, tetapi juga dari kaum ateis yang sama sekali tidak mempercayai keberadaan Allah (SWT). Dengan demikian, pemahaman yang benar tentang tauhid sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dalam beragama.