Masalah keramat para wali sering kali memicu perdebatan yang berkepanjangan. Sebagian orang menganggap kepercayaan terhadap keramat para wali sebagai bentuk kemusyrikan. Di sisi lain, banyak yang meyakini bahwa keramat para wali adalah bentuk kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Kelompok Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), yang dianut oleh warga Nahdlatul Ulama (NU), termasuk dalam kelompok yang mempercayai keramat para wali. Mereka meyakini bahwa keramat tersebut tidak bertentangan dengan tauhid, karena segala sesuatu yang terjadi tetap dianggap sebagai kehendak Allah.
Bagi kalangan Aswaja, kepercayaan ini bukanlah kemusyrikan, sebagaimana dituduhkan oleh kelompok yang skeptis. Mereka tetap meyakini bahwa segala sesuatu terjadi karena Allah semata, bukan karena keramat para wali. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ihsan Jampes Kediri, keramat para wali dipahami sebagai tindakan yang tidak memberikan dampak langsung, karena dampak sejati hanyalah milik Allah (SWT). Siapa pun yang menganggap bahwa wali atau selainnya memiliki kekuatan untuk mempengaruhi sesuatu dianggap telah kufur terhadap Allah.
Dalam pandangan Aswaja, keramat para wali dipahami sebagai sebab adat yang tidak berpengaruh, seperti hubungan antara makanan dan rasa kenyang, atau obat dan kesembuhan. Sebab hakiki bagi mereka adalah Allah, yang memberikan rasa kenyang dan kesembuhan. Mereka menegaskan bahwa apa yang terjadi dari para wali hanyalah sebab adat yang tidak memiliki dampak, dan segala sesuatu terjadi sesuai dengan hukum kebiasaan yang ditetapkan oleh Allah.
Sebagian kelompok, seperti Wahabi, sering melancarkan propaganda yang meragukan keyakinan kalangan Aswaja tentang tawasul dan ziarah. Namun, pandangan ini telah diuji dan dipatahkan oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Syafi’iyah di Mekkah pada abad ke-19 M, dalam karyanya yang berjudul Khulashatul Kalam fi Bayani Umara’il Baladil Haram. Penjelasan beliau ini juga dikutip oleh Syekh Yusuf An-Nabhani dalam Kitab Syawahidul Haq, yang menekankan pentingnya memahami perbedaan pandangan ini dengan bijaksana.
Perbedaan pandangan mengenai praktik tawasul dan keramat para wali seharusnya disikapi dengan saling menghargai, bukan dengan saling mencaci. Dalam konteks ini, penting untuk menjaga keharmonisan dan saling pengertian antar kelompok yang memiliki keyakinan berbeda. Wallahu a’lam.