Dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya Asy’ariyah dan Maturidiyah, ditegaskan bahwa Allah (SWT) ada tanpa arah dan tempat. Dzat Allah (SWT) bukanlah jism (sesuatu yang memiliki volume), sehingga tidak dapat dianggap berada dalam lokasi atau koordinat tertentu. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa kemustahilan arah atas dan bawah bagi Allah (SWT) tidak berarti Allah (SWT) tidak bisa disifati dengan sifat Kemahatinggian (al-‘Uluw) karena penyifatan tersebut bersifat maknawi, sedangkan yang mustahil adalah penyifatan dari sisi indrawi.
Seluruh imam Ahlussunnah sepakat menafikan adanya arah bagi Allah (SWT), sehingga keberadaan-Nya tidak dapat diungkapkan dengan istilah di atas, di bawah, di samping, di depan, atau di belakang dalam makna indrawi. Kemahatinggian Allah (SWT) adalah kemahatinggian mutlak yang tidak dapat dicapai oleh siapa pun.
Namun, masih ada sebagian orang yang bersikukuh bahwa Allah (SWT) bertempat dan berada dalam arah tertentu. Mereka meyakini bahwa Allah (SWT) secara fisikal berada di atas, berlandaskan pada dalil-dalil yang tidak dipahami secara menyeluruh. Untuk menanggapi pandangan ini, Syekh Saif bin Ali al-Ashri dalam kitabnya, al-Qawl at-Tamâm Bi-Itsbât at-Tafwîdh Madzhaban Lis-Salaf al-Kirâm, mengajukan beberapa pertanyaan yang menggugah pemikiran.
Pertama, apa pendapat kalian tentang aqidah Hulul, yang menyatakan bahwa Allah (SWT) menyatu atau bertempat di dalam makhluk? Jika mereka menjawab bahwa aqidah hulul adalah sesat, hal ini justru menafikan keberadaan Allah (SWT) secara indrawi di arah atas. Jika mereka menganggap arah atas sebagai makhluk, maka mereka telah meyakini aqidah hulul, yang merupakan kekufuran. Namun, jika mereka berpendapat bahwa arah atas bukan makhluk, maka mereka bertentangan dengan firman Allah (SWT) yang menyatakan bahwa Dia adalah Pencipta segala sesuatu.
Jika mereka berargumen bahwa arah itu adalah ketiadaan, maka sama saja mereka menyatakan bahwa Allah (SWT) tidak ada, karena tidak mungkin ada sesuatu yang berada dalam ketiadaan. Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa mereka yang meyakini Allah (SWT) bertempat dalam arah tertentu akan kesulitan memberikan jawaban yang memuaskan.
Arah itu sendiri merupakan perspektif dari dua jism. Arah atas merupakan perspektif dari jism yang di bawah terhadap jism lain yang lokasinya di atasnya, dan sebaliknya. Arah ini jelas merupakan makhluk karena ada perspektif dari makhluk. Dengan demikian, meyakini bahwa Allah (SWT) berada dalam arah tertentu sama dengan meyakini bahwa Allah (SWT) berada dalam makhluk tertentu, yang telah disepakati sebagai aqidah yang menyimpang. Wallahu a’lam.