Ilmu tauhid merupakan alur pemikiran yang menetapkan eksistensi Allah (SWT) dan menafikan segala sesuatu selain-Nya. Meskipun tampak sederhana, dalam perjalanannya, para teolog Muslim (mutakallimin) terpecah menjadi berbagai aliran teologi yang masing-masing memiliki rumusan-rumusan kompleks terkait tauhid. Sering kali, mereka melampaui batas dengan mengabaikan Al-Qur’an dan hadits, atau memahaminya secara tekstual dalam merumuskan ajaran tersebut.
Seiring waktu, diskusi di antara para mutakallimin mencakup banyak hal, seperti eksistensi sifat Tuhan, perbuatan-Nya, ikhtiar manusia, kenabian, dan kepemimpinan. Hasil dari diskusi ini melahirkan ilmu kalam sebagai kajian akademik yang penting. Namun, masalah muncul ketika satu kelompok teologis menganggap rumusan teologis mereka sebagai kebenaran mutlak dan menilai kelompok lain sebagai salah.
Sikap ini berimbas pada kehidupan sosial-politik, di mana mereka memaksakan kebenaran kelompoknya dan menekan kelompok lain, bahkan terkadang berupaya menggulingkan kekuasaan yang sah. Insiden penikaman terhadap Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan peristiwa mihnah yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal adalah contoh dari konflik yang terjadi.
Sikap snob ini dapat menimpa kelompok teologi mana saja, termasuk di kalangan Sunni. Beberapa mutakallimin Sunni menganggap bahwa pemahaman rinci tentang lima puluh aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah syarat keimanan. Menurut mereka, umat Islam yang hanya memahami aqidah secara umum dianggap tidak beriman. Hal ini mengacu pada pandangan Al-Baijuri yang menyatakan bahwa pemahaman rinci adalah wajib bagi setiap individu.
Pengetahuan tentang lima puluh aqidah mencakup keberadaan makhluk sebagai dalil atas wujud Allah. Namun, sebagian mutakallimin ekstrem bahkan menyatakan bahwa keimanan umat Islam yang beriman secara taklid tidak sah. Dengan demikian, masyarakat awam yang beriman secara taklid, meskipun sah, dianggap tidak beriman oleh mereka. Hal ini tentu melewati batas, padahal banyak umat Islam yang beriman dengan cara taklid dari masa Rasulullah hingga sekarang.
Imam Al-Ghazali menanggapi sikap berlebihan ini dengan menegaskan bahwa sekelompok umat Islam mengafirkan umat Islam awam yang tidak memahami aqidah dengan dalil-dalil yang mereka rumuskan. Mereka mempersempit rahmat Allah dan menjadikan surga hanya untuk kelompok kecil teolog.
Dari sini, terlihat bahwa sebagian mutakallimin merumuskan formula teologis yang rumit dan menilai keimanan orang lain berdasarkan rumusan yang mereka buat sendiri. Ironisnya, sebagian umat Islam kini mengikuti jejak teolog yang melewati batas ini, menilai keimanan dan kekufuran berdasarkan simbol-simbol tertentu, seperti bendera bertulis lafal tauhid atau perbedaan pandangan politik.
Meskipun sikap berlebihan ini terbilang “maju” dalam konteks mengafirkan sesama Muslim, tindakan ini justru menunjukkan kemunduran peradaban dibandingkan dengan pencapaian umat Islam terdahulu. Oleh karena itu, penting untuk memahami semua ini secara luas, tanpa membuang pelajaran tauhid atau ilmu kalam. Ilmu kalam tetap harus dipelajari, sebagaimana dilakukan oleh para ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Uraian ini menjadi catatan bagi para teolog dan umat Islam untuk bersikap wajar agar tidak melampaui batas. Wallahu a‘lam.