Dalam pandangan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), konsep tauhid yang dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah dan pengikutnya, seperti pembagian tauhid menjadi rububiyah, uluhiyah, dan al-asmâ’ was-shifât, dianggap menimbulkan beberapa permasalahan yang cukup serius. Meskipun sekilas tampak sederhana dan sejalan dengan ajaran Islam, ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan kritik dari para ulama Aswaja.
1. Pembagian Tauhid yang Tidak Dikenal Sebelumnya
Permasalahan pertama adalah pembagian tauhid menjadi tiga bagian ini tidak dikenal oleh para ulama terdahulu sebelum masa Ibnu Taimiyah. Sebelum Ibnu Taimiyah, istilah rububiyah dan uluhiyah memang sudah ada, tetapi tidak dijadikan konsep yang terpisah dalam menjelaskan keesaan Allah. Para ulama terdahulu, terutama dari kalangan Aswaja, menganggap bahwa tauhid itu satu kesatuan yang mencakup semuanya, baik rububiyah, uluhiyah, maupun sifat-sifat Allah. Mereka tidak membagi-bagi tauhid menjadi beberapa kategori yang terpisah, karena dapat menyebabkan kebingungan di kalangan umat.
Dalam tradisi Aswaja, tauhid diajarkan secara menyeluruh tanpa adanya pembagian yang kaku. Ulama besar seperti Imam al-Ghazali dan Imam al-Asy’ari membahas tauhid dalam karyanya tanpa membaginya menjadi tiga kategori terpisah. Salah satu bukti bahwa pembagian ini tidak dikenal oleh ulama terdahulu adalah karya Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, di mana tauhid dibahas secara komprehensif tanpa mengklasifikasikannya menjadi rububiyah, uluhiyah, atau al-asmâ’ was-shifât.
Dalam al-Ibanah an Usul ad-Diyanah, Imam al-Asy’ari juga menjelaskan tentang keesaan Allah tanpa memecah-mecahnya menjadi bagian-bagian yang terpisah. Ini menunjukkan bahwa para ulama Aswaja terdahulu memahami tauhid sebagai satu kesatuan yang utuh.
2. Tuduhan Terhadap Mayoritas Umat Islam
Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya seringkali menuduh bahwa mayoritas umat Islam, termasuk para ulama dari kalangan Aswaja, belum benar-benar bertauhid. Mereka menuduh bahwa banyak kaum Muslimin hanya memahami tauhid rububiyah dan mengabaikan tauhid uluhiyah, sehingga mereka dianggap berada pada level yang sama dengan kaum musyrik. Tuduhan ini menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam dan dianggap tidak berdasar oleh para ulama Aswaja.
Salah satu poin kritis dari para ulama Aswaja terhadap Ibnu Taimiyah adalah tuduhannya terhadap mayoritas umat Islam, termasuk para ulama, bahwa mereka belum benar-benar memahami tauhid uluhiyah. Tuduhan ini dianggap tidak berdasar karena mayoritas umat Islam telah mengamalkan tauhid secara menyeluruh. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang rasul (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)
Ayat ini menunjukkan bahwa seruan untuk menyembah Allah saja sudah ada sejak zaman para rasul, dan umat Islam secara umum telah memahami dan mengamalkan hal ini. Tuduhan bahwa mayoritas umat Islam belum bertauhid secara benar bertentangan dengan fakta sejarah dan ajaran yang sudah mapan.
3. Pengabaian Terhadap Pendekatan Ilmu Kalam
Ibnu Taimiyah juga mengkritik para ulama yang menggunakan ilmu kalam (teologi Islam) dalam memahami dan menjelaskan konsep tauhid. Ia menganggap bahwa pendekatan ini tidak sepenuhnya mengajarkan tauhid yang benar, dan hanya terfokus pada aspek rububiyah tanpa memperhatikan uluhiyah. Padahal, dalam pandangan Aswaja, ilmu kalam adalah alat penting untuk memahami dan mempertahankan ajaran Islam, terutama dalam menghadapi berbagai aliran pemikiran yang berbeda.
Ibnu Taimiyah sering mengkritik para ulama yang menggunakan ilmu kalam dalam memahami tauhid, menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni. Namun, para ulama Aswaja melihat ilmu kalam sebagai alat yang sah dan penting untuk memahami ajaran Islam secara mendalam. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami tanda-tanda kebesaran-Nya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)
Para ulama Aswaja, seperti Imam al-Asy’ari, memanfaatkan ilmu kalam untuk mempertahankan ajaran Islam dan menjawab tantangan dari berbagai pemikiran yang muncul pada masa mereka. Mereka tidak melihat ilmu kalam sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam, melainkan sebagai sarana untuk memperkuat tauhid.
4. Urgensi Pemahaman Tauhid yang Tepat
Bagi Aswaja, memahami tauhid dengan benar adalah hal yang sangat penting karena tauhid adalah dasar dari seluruh ajaran Islam. Namun, cara memahami tauhid juga harus sesuai dengan ajaran para ulama terdahulu yang mengikuti manhaj salaf (metode para sahabat dan tabi’in). Pembagian tauhid yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam dan justru berpotensi merusak kesatuan umat.
Ulama Aswaja menekankan pentingnya memahami tauhid secara benar, tanpa memisahkannya menjadi bagian-bagian yang dapat memecah belah umat. Dalil tentang pentingnya menjaga persatuan umat dapat ditemukan dalam hadits Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha bagi kalian; beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, berpegang teguh dengan tali Allah bersama-sama dan tidak berpecah-belah, dan memberikan nasihat kepada orang-orang yang Allah serahkan kepadanya urusan kalian [pemimpin umat]. Allah membenci dari kalian tiga perkara; desas-desus, terlalu banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Muslim)
Hadits ini menekankan pentingnya persatuan dalam umat Islam dan larangan untuk bercerai-berai, yang dapat terjadi jika konsep tauhid dipisahkan atau dibagi-bagi secara kaku seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah. Para ulama Aswaja berpendapat bahwa memahami tauhid secara menyeluruh dan tidak memisahkannya menjadi bagian-bagian yang dapat memicu perpecahan adalah hal yang sangat penting untuk menjaga kesatuan umat Islam.
Selain itu, tuduhan yang dilontarkan kepada mayoritas umat Islam dan para ulama Aswaja dianggap tidak produktif dan hanya menimbulkan perpecahan. Padahal, dalam ajaran Aswaja, menjaga persatuan umat adalah salah satu prinsip penting yang harus dijaga.
Kesimpulan
Permasalahan utama yang dilihat oleh para ulama Aswaja terhadap konsep tauhid yang dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah adalah pada pembagian tauhid yang tidak dikenal sebelumnya, tuduhan terhadap mayoritas umat Islam, serta pengabaian terhadap pendekatan ilmu kalam. Urgensinya, memahami tauhid dengan cara yang benar dan tidak memecah belah umat adalah hal yang sangat penting dalam menjaga kesatuan dan keutuhan ajaran Islam. Oleh karena itu, pemahaman tauhid yang komprehensif dan tidak memisahkan aspek-aspek tauhid secara kaku, sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama Aswaja, adalah kunci untuk menjaga kesatuan umat dan kebenaran ajaran Islam.