Konsep “salaf” dalam kajian Islam sering kali dipahami secara berbeda-beda. Dalam pengertian yang lebih luas, salaf dapat diartikan sebagai tokoh-tokoh yang tidak jelas identitasnya dan pendapat mereka yang tidak terstruktur dengan baik. Hal ini menyebabkan salaf dalam konteks ini dianggap sebagai sebuah fiksi yang sering kali diklaim sebagai representasi kebenaran tanpa mempertimbangkan adanya perbedaan pendapat di antara para ulama.
Pengikut “salaf” yang bersifat fiksi ini cenderung bersikap eklektik, memilih pendapat dari berbagai imam sesuai dengan kepentingan mereka. Di satu sisi, mereka mengklaim bahwa para imam salaf harus diikuti karena dianggap benar, sementara di sisi lain, mereka menyatakan bahwa semua harus kembali kepada dalil, meskipun para imam tersebut tidak terjaga dari kesalahan. Ini menunjukkan adanya kontradiksi dalam pemahaman mereka.
Secara objektif, banyak dari mereka tidak benar-benar mengikuti ulama salaf tertentu, melainkan lebih kepada pendapat pribadi yang digunakan untuk menilai pendapat ulama lainnya. Pendapat yang sesuai dengan pemikiran mereka dilabeli sebagai “pendapat salaf,” sementara yang tidak sesuai dianggap menyimpang dari kebenaran. Dengan demikian, konsep ini lebih tepat disebut sebagai mazhab baru ketimbang manhaj yang konsisten.
Sebagai contoh, dalam hal akidah, pengikut salaf dalam arti kedua sering kali mengklaim bahwa takwil terhadap sifat khabariyah Allah adalah haram, berdasarkan kesepakatan seluruh ulama salaf. Mereka yang menakwil biasanya divonis sebagai ahli bid’ah. Namun, apakah semua ulama salaf sepakat dalam hal ini? Tentu tidak, karena ada juga ulama salaf yang menakwil sifat-sifat tersebut.
Dalam masalah fikih, pengikut salaf yang menganggap qunut subuh sebagai bid’ah menunjukkan inkonsistensi dalam klaim mereka untuk mengikuti salaf. Mereka mengabaikan pendapat ulama salaf seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i yang menyunnahkannya, dan menganggap pendapat tersebut sebagai kesalahan.
Inkonsistensi ini menciptakan kesan bahwa kata “salaf” tidak lagi memiliki makna yang jelas, karena pendapat para tokoh salaf dipilih secara selektif sesuai dengan pemikiran mereka, sementara pendapat lainnya dibuang. Jika mereka benar-benar ingin mengikuti ulama salaf, maka seharusnya perbedaan pendapat di antara mereka diakomodasi dan tidak dipertentangkan secara ekstrim.
Akhirnya, penting untuk menyadari bahwa pemahaman yang seimbang dan komprehensif terhadap salaf sangat diperlukan agar kita tidak terjebak dalam klaim yang tidak berdasar dan menjauh dari semangat ijtihad yang sebenarnya.