Seluruh umat Islam sepakat bahwa generasi terbaik yang menjadi rujukan adalah generasi Salaf, yang terdiri dari tiga abad pertama. Dalam konteks aqidah dan fiqih, pendapat dan tindakan ulama Salaf diakui sebagai acuan. Namun, terdapat perbedaan pemaknaan mengenai istilah “Salaf” di era modern ini, yang terbagi menjadi dua: Salaf sebagai realitas dan Salaf sebagai fiksi.
Salaf sebagai realitas merujuk pada tokoh-tokoh nyata dalam sejarah yang dapat dengan mudah disebutkan, seperti para imam mazhab dalam fiqih, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta dalam aqidah, yakni Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Mereka adalah ulama Salaf yang keilmuannya diakui dan terdokumentasi dengan baik, sehingga validitas pendapat mereka dapat diuji. Dalam hal ini, pengikut ulama Salaf dapat mengakui adanya ikhtilaf di antara para imam Salaf dan memahami perbedaan pendapat tanpa sikap fanatisme.
Tradisi Nahdlatul Ulama (NU), yang digariskan oleh Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, mengakui empat mazhab fiqih sekaligus. Dalam kegiatan Bahtsul Masa’il, pendapat dari berbagai mazhab sering disampaikan sebelum merumuskan jawabannya, dan seringkali keputusan akhir mengakomodasi beberapa pendapat yang berbeda. Dalam hal aqidah, NU merujuk kepada Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, yang berupaya memurnikan ajaran aqidah setelah adanya distorsi oleh berbagai aliran.
Perbedaan pendapat di antara kedua tokoh aqidah ini diakui sebagai bentuk penghargaan terhadap ulama Salaf, di mana masing-masing pendapat dianggap benar dan tidak perlu dipertentangkan secara diametral. Misalnya, dalam memahami ayat وجاء ربك (dan datanglah Tuhanmu) pada surat al-Fajr:22, Sahabat Ibnu Abbas menakwilnya sebagai kedatangan urusan dan putusan Allah, bukan kedatangan Allah sendiri. Begitu pula, dalam memahami hadits tentang turunnya Allah pada sepertiga malam terakhir, Imam Malik dan al-Auza’i memilih untuk menakwilkan makna tersebut.
Dalam fiqih, perbedaan pendapat juga terjadi, seperti dalam masalah qunut subuh, di mana Mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa qunut subuh adalah sunnah, sedangkan Mazhab Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat sebaliknya. Pengikut Salaf dalam arti ini, termasuk para Nahdliyyin, terbiasa hidup rukun dalam perbedaan pendapat, menyadari bahwa ulama Salaf seringkali berbeda pendapat dalam berbagai aspek.
Konsistensi dalam menganut mazhab Salaf membuat mereka toleran dan tidak mudah menjatuhkan vonis sesat terhadap sesama Muslim yang mengikuti imam dari kalangan Salaf. Dengan demikian, perbedaan pendapat dianggap sebagai bagian dari dinamika pemahaman yang dapat memperkaya khazanah keilmuan Islam.