Di antara tantangan besar yang dihadapi umat Islam adalah sikap sebagian orang yang mudah mengafirkan Muslim lainnya. Tindakan ini mengakibatkan perpecahan serius di kalangan umat, terutama ketika mengarah pada penghalalan darah sesama Muslim. Alasan pengafiran ini bervariasi, umumnya terkait dengan ketidaksepakatan dalam memahami aqidah. Namun, ada juga yang secara sembarangan menjatuhkan vonis kafir hanya karena perbedaan pandangan dalam fiqih, yang merupakan bentuk ekstremisme berbahaya.
Contoh nyata dapat dilihat dari pola dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab, pendiri paham Wahabiyah, yang menginspirasi berbagai kelompok puritan di era berikutnya. Ia dengan mudah mengafirkan orang-orang yang berbeda pendapat dengannya, menganggap bahwa penentangan terhadapnya sama dengan menentang Al-Qur’an dan hadits. Dalam pandangannya, orang-orang yang bertawassul kepada Nabi dan orang salih yang telah meninggal adalah kafir dan murtad dari Islam. Ia menegaskan bahwa tidak ada sah agama Islam tanpa berlepas diri dari mereka dan mengafirkan mereka.
Sebaliknya, Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Syekh Ibnu Taymiyah menunjukkan sikap yang berbeda. Keduanya, meskipun sering dianggap berseberangan, sepakat untuk tidak mengafirkan sesama Muslim. Imam al-Asy’ari menekankan bahwa perbedaan di kalangan umat Islam hanyalah perbedaan ungkapan dalam menyembah Allah Yang Maha Esa. Ia menegaskan bahwa tidak ada seorang pun dari Ahli Kiblat yang patut di kafirkan, karena mereka semua mengarah kepada satu Tuhan. Begitu pula Syekh Ibnu Taymiyah, yang di akhir hayatnya menegaskan bahwa ia tidak mengafirkan siapa pun dari umat ini.
Pandangan ini mencerminkan teologi damai yang diyakini oleh mayoritas umat Islam (Aswaja). Teologi damai ini harus terus dipromosikan dan dilestarikan, mengingat perbedaan di antara kaum Muslimin seharusnya tidak menjadi alasan untuk saling mengafirkan. Wallahu a’lam.