Pembahasan mengenai takdir merupakan tema yang kompleks, di mana terdapat berbagai dalil yang tampak saling bertentangan. Sebagian dalil Al-Qur’an dan hadits menyatakan bahwa semua kejadian di dunia ini telah tercatat di Lauh Mahfudz dan tidak mungkin berubah. Namun, ada juga dalil yang menegaskan bahwa doa manusia dapat mengubah takdir, dan silaturahim dapat memperpanjang umur. Selain itu, ada perintah untuk melakukan perbuatan baik agar dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang menunjukkan bahwa usaha manusia memiliki peran dalam menentukan jalan takdirnya.
Untuk memahami takdir, para ulama membagi takdir (qadla’) menjadi dua kategori: pertama, takdir mubram, yaitu takdir yang sudah ditentukan dan tidak dapat diubah. Contohnya adalah takdir kelahiran dari orang tua tertentu dan waktu lahir. Kedua, takdir mu’allaq, yang bersifat kondisional dan dapat diubah melalui usaha manusia, seperti takdir kemiskinan yang dapat diubah dengan doa dan kerja keras.
Meskipun pembagian ini tampak mempermudah, kenyataannya tidak sesederhana itu. Tidak ada informasi dari hadits yang menjelaskan secara spesifik kategori mana yang termasuk mubram dan mana yang mu’allaq. Keyakinan bahwa hanya rezeki, jodoh, dan kematian yang termasuk mubram adalah anggapan yang tidak berdasar. Misalnya, dalam kasus kemiskinan, ada orang yang berusaha keras tetapi tetap miskin, menunjukkan bahwa kemiskinannya sudah mubram. Namun, ada juga yang berhasil mengubah nasibnya, menunjukkan bahwa kemiskinannya masih mu’allaq.
Untuk lebih memahami takdir, kita perlu melihatnya dari tiga perspektif: perspektif Allah, malaikat, dan manusia.
Dalam perspektif Allah, Al-Qur’an dan hadits menegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui. Sifat al-‘ilmu Allah mencakup segala sesuatu tanpa batas. Semua takdir adalah mubram dalam pandangan Allah, yang telah diketahui sebelumnya dan akan terwujud pada waktunya.
Dalam perspektif malaikat, mereka memiliki tugas yang beragam, termasuk membagi rezeki dan mencabut nyawa. Mereka dapat melihat takdir yang mubram dan mu’allaq. Misalnya, rezeki seseorang dapat dianggap mubram atau mu’allaq tergantung pada usaha dan pilihan yang diambil oleh individu tersebut.
Sedangkan dalam perspektif manusia, kita hanya dapat mengetahui sisi mu’allaq sebelum kejadian terjadi. Manusia hanya menyadari takdir mubram setelah peristiwa itu terjadi, seperti saat seseorang meninggal dunia. Selama hidup, manusia diharuskan untuk berusaha menjaga kesehatan dan berdoa agar umur panjang.
Dengan memahami ketiga perspektif ini, segala kebingungan mengenai takdir dapat terjawab. Seorang Muslim harus percaya bahwa segala sesuatu sudah diketahui Allah dan akan terjadi sesuai pengetahuan-Nya, tetapi tidak boleh menjadikannya sebagai alasan untuk berdiam diri. Sebaliknya, manusia dituntut untuk berusaha dan menyambut masa depannya. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad (SAW) bersabda: “Berusahalah, semua akan dimudahkan.”