- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Iman dan Pertambahannya dalam Perspektif Islam

Google Search Widget

Ada perdebatan di kalangan ulama mengenai apakah iman seseorang dapat bertambah atau berkurang. Beberapa orang bahkan menjadikan isu ini sebagai salah satu kriteria untuk menentukan apakah seseorang termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah atau tidak. Salah satu tokoh yang dituduh dalam polemik ini adalah Imam Abu Hanifah, yang dianggap sebagai pengikut aliran Murji’ah oleh sebagian ulama.

Kelompok pertama dari kaum Muslimin berpendapat bahwa iman dapat bertambah atau berkurang. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, termasuk Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan tindakan yang bisa bertambah dan berkurang. Dasar dari pendapat ini adalah banyak ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa keimanan bisa bertambah dan berkurang, seperti dalam QS. al-Mudatsir: 31 dan QS. Ali Imran: 173.

Sebaliknya, kelompok kedua berpendapat bahwa iman tidak dapat bertambah. Mereka, termasuk Imam Abu Hanifah, berargumen bahwa iman adalah pengakuan dengan lisan dan pembenaran dalam hati, dan pengakuan saja tidak cukup untuk disebut iman. Mereka merujuk pada banyak ayat dan hadits yang menekankan bahwa iman adalah masalah hati belaka, tanpa melibatkan perbuatan. Contohnya, QS. al-Maidah: 41 menyatakan bahwa orang-orang munafik mengaku beriman, padahal hati mereka tidak beriman.

Meskipun kedua kelompok ini tampak memiliki pandangan yang bertentangan, sebenarnya perbedaan tersebut lebih pada definisi iman itu sendiri. Kelompok pertama menganggap tindakan sebagai bagian dari iman, sehingga keimanan bisa bertambah atau berkurang sesuai dengan tindakan baik atau maksiat yang dilakukan. Sementara kelompok kedua tidak memasukkan tindakan dalam definisi iman, sehingga mereka tidak mengakui adanya pertambahan atau pengurangan iman.

Imam Nawawi mengemukakan bahwa iman dalam arti pembenaran tidak bertambah atau berkurang, sedangkan iman dalam perspektif syariat dapat bertambah dan berkurang sesuai dengan aktualisasi amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa ada kompromi antara kedua pandangan tersebut, di mana keduanya sepakat bahwa tindakan baik dan buruk memiliki konsekuensi di akhirat.

Kedua pandangan ini tidak mengakibatkan salah satu pihak dianggap sesat, karena keduanya sepakat bahwa pelaku dosa besar tetap berstatus sebagai mukmin, sementara non-Muslim yang berbuat baik tetap dianggap kafir. Dalam hal ini, pandangan mayoritas ulama yang menganggap bahwa iman dapat bertambah dan berkurang tampaknya lebih sesuai, terutama ketika mempertimbangkan fakta bahwa keimanan setiap individu juga berbeda-beda tingkatannya.

Dengan demikian, pemahaman tentang iman dan pertambahannya dalam Islam adalah hal yang kompleks dan memerlukan pemahaman yang mendalam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?