Fenomena penggunaan Primbon untuk menghitung hari baik dan buruk masih marak di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Banyak orang yang mengandalkan perhitungan ini dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pernikahan, penanaman komoditas pangan, pembangunan rumah, dan acara lainnya. Jika hasil perhitungan menunjukkan hari baik, rencana tersebut dilanjutkan, namun jika hasilnya buruk, mereka akan mencari hari lain.
Perhitungan semacam ini juga dapat ditemukan dalam budaya non-Islam, seperti Feng-Shui dalam budaya Tiongkok. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana pandangan tauhid terhadap praktik semacam ini? Apakah hal ini dapat dianggap sebagai kesyirikan (penyekutuan Allah) atau tidak? Para ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai isu ini. Pendapat yang lebih kuat datang dari Imam Syafi’i yang dinukil oleh Syekh Burhanuddin bin Firkah. Beliau menyatakan bahwa jika seorang ahli nujum meyakini bahwa hanya Allah yang memberikan pengaruh, dan bahwa Allah hanya menjadikan kebiasaan tertentu di waktu tertentu, maka tidak ada masalah dalam hal ini. Namun, celaan terhadap perhitungan ini ditujukan kepada mereka yang meyakini bahwa bintang-bintang atau makhluk lain dapat memberikan pengaruh.
Sebagian ulama, seperti Syekh Kamaluddin bin Zamlakani, mengharamkan praktik ini secara mutlak karena dianggap berisiko menuju kesyirikan. Mereka berpendapat bahwa perhitungan baik-buruk ini sering kali diyakini sebagai ramalan yang pasti terjadi, sehingga menimbulkan keyakinan bahwa bintang-bintang atau tanda-tanda lain dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya. Pandangan ini jelas mengarah kepada kesyirikan.
Namun, menurut analisis Imam as-Subki, pandangan yang menggeneralisir semacam ini tidak tepat. Beliau berpendapat bahwa Syekh Kamaluddin bin Zamlakani mungkin tidak memahami penjelasan Imam Syafi’i yang lebih mendetail. Meskipun demikian, penting untuk diakui bahwa praktik semacam ini berpotensi menjerumuskan seseorang ke dalam kesalahan aqidah. Banyak ahli nujum yang tidak memahami aspek aqidah, sehingga para ulama selalu mengingatkan untuk tidak mendatangi atau mempercayai mereka.
Syekh Taqiyuddin al-Hishni menjelaskan bahwa ahli nujum dalam masyarakat sering kali adalah orang-orang fasik, dan sebagian dari mereka memiliki aqidah yang buruk, bahkan ada yang bisa dianggap zindiq atau kafir. Nabi Muhammad (SAW) telah bersabda bahwa siapa yang mendatangi tukang ramal, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa meskipun tidak semua ahli nujum dapat dikategorikan sebagai salah, realitas di masyarakat menunjukkan bahwa banyak di antara mereka adalah orang-orang yang tidak patuh. Oleh karena itu, penting untuk berhati-hati dalam memberikan vonis syirik atau lainnya terhadap masyarakat yang mempercayai perhitungan semacam ini. Namun secara umum, tindakan ini sebaiknya dihindari. Wallahu a’lam.