Dalam kajian aqidah salaf, sering kali kita menemukan ungkapan “tanpa menyerupakan atau menyamakan Allah” (tanpa tasybîh atau tamtsîl). Namun, pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan tidak menyerupakan Allah ini masih menjadi perdebatan. Beberapa orang berpendapat bahwa Allah memiliki tangan, mata, dan bentuk dalam arti sebenarnya, tetapi tidak serupa dengan makhluk. Pertanyaannya, apakah pernyataan ini termasuk dalam kategori tidak menyerupakan atau justru sebaliknya?
Ada dua kaidah batasan penyerupaan (tasybîh) menurut para ulama yang digunakan untuk menentukan mana yang termasuk tasybih dan mana yang tidak. Pertama, kaidah dari Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau menyatakan bahwa hadits-hadits tentang sifat Allah harus dibaca sebagaimana adanya, tanpa membahas maknanya, dan kita harus menafikan penyerupaan dengan Allah saat menyebutkan sifat-Nya, sambil membenarkan dan meyakini apa yang disampaikan oleh Nabi (SAW). Segala gambaran yang muncul dalam pikiran kita ketika mendengar sifat Allah, seperti “yadullah” yang terbayang sebagai organ tubuh, adalah tasybîh.
Kedua, kaidah dari Imam Ishaq bin Rahawaih yang menyatakan bahwa tasybîh hanya terjadi jika kita mengatakan “seperti” atau “mirip” dengan makhluk. Jika tidak ada pernyataan tersebut, maka itu masih dalam konteks menyucikan Allah dari keserupaan.
Ketika menerapkan kedua kaidah ini pada pernyataan Muqatil bin Sulaiman, yang menyatakan bahwa Allah adalah jism dan memiliki bentuk manusia, kita dapat melihat perbedaan hasil. Berdasarkan kaidah pertama, Muqatil jelas melakukan tasybîh karena dia menggambarkan Allah dalam bentuk makhluk. Namun, menurut kaidah kedua, Muqatil berusaha menegaskan bahwa meskipun Allah memiliki bentuk, Dia tidak menyerupai makhluk manapun.
Sebagian besar umat Islam, termasuk golongan Mujassimah-Musyabbihah, sepakat bahwa Allah tidak sama dengan makhluk. Jika batasan tasybîh hanya bergantung pada pernyataan “seperti makhluk”, maka tidak ada satu pun orang yang bisa disebut Mujassimah atau Musyabbihah. Hal ini menunjukkan bahwa untuk penilaian yang lebih tepat, kita perlu fokus pada esensi dari keyakinan tersebut.
Syaikh al-Bajuri al-Asy’ari menegaskan bahwa penyerupaan dengan hal baru adalah bertentangan dengan tidak menyerupai hal baru. Apabila seseorang meyakini Allah sebagai jism, maka itulah tasybîh yang terlarang. Semua makna yang ada di kamus dan gambaran di benak manusia hanya berlaku bagi jism. Oleh karena itu, keyakinan tersebut harus dihindari untuk menyucikan Allah (tanzîh).