Imam Syafi’i adalah seorang tokoh besar dalam sejarah Islam yang dikenal sebagai pendiri Mazhab Syafi’iyah dan pelopor ilmu ushul fiqh. Beliau memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dunia fiqih, di mana banyak ulama mengakui jasa-jasanya. Dalam konteks aqidah, Imam Syafi’i menjadi rujukan bagi manhaj aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah). Namun, terdapat pernyataan-pernyataan beliau yang menolak ilmu kalam, bahkan menganjurkan agar orang yang mendalami ilmu tersebut dipukul dengan pelepah kurma dan diarak.
Sejarah mencatat bahwa banyak tokoh dari Mazhab Syafi’iyah, seperti al-Baihaqi, Imam al-Haramain, dan al-Ghazali, adalah pakar dalam ilmu kalam. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah benar Imam Syafi’i menolak ilmu kalam secara mutlak, sementara para pengikutnya tidak mematuhi beliau? Untuk memahami hal ini, penting untuk mengetahui konteks larangan yang disampaikan oleh Imam Syafi’i.
Ibnu Khaldun, seorang ulama dan sejarawan terkemuka, menjelaskan perkembangan ilmu kalam dalam karyanya yang terkenal, Tarîkh. Ia mengungkapkan bahwa para ulama di era salaf, termasuk Sahabat dan Tabi’in, menetapkan sifat-sifat ketuhanan dan kesempurnaan pada Allah, serta menyerahkan hal-hal yang menunjukkan kekurangan kepada Allah. Namun, Muktazilah muncul dengan pandangan bahwa sifat-sifat Allah hanya merupakan kesan dalam hati dan tidak berkaitan dengan Dzat Allah. Mereka mengajarkan bahwa manusia adalah pencipta perbuatan mereka sendiri, tanpa adanya kaitan dengan takdir.
Imam Syafi’i menolak pandangan Muktazilah yang menyimpang ini, sehingga beliau menyatakan bahwa mereka seharusnya dipukul dengan pelepah kurma. Penolakan beliau berkaitan dengan metode Muktazilah yang mengabaikan sifat Kalamullah. Dalam pandangan Imam Syafi’i, ilmu kalam yang berkembang pada masa itu adalah yang terpengaruh oleh ajaran filsafat Yunani, yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits.
Imam al-Baihaqi juga menegaskan bahwa konteks penolakan Imam Syafi’i terhadap ilmu kalam berkaitan dengan ajaran Muktazilah yang menganggap Kalamullah sebagai makhluk. Beliau mengungkapkan bahwa lebih baik seorang hamba menemui Allah dengan dosa besar daripada meyakini adanya huruf dalam Kalamullah, yang diyakini oleh Muktazilah.
Kendati demikian, Imam Syafi’i juga menggunakan ilmu kalam untuk mendebat para ahli kalam yang menyimpang. Kemampuan beliau dalam ilmu kalam diakui oleh banyak ulama, termasuk Imam Ibnu Asakir, yang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berbicara dengan rinci dan mendalam mengenai argumen-argumen kalam.
Imam Ibn Hajar al-Haitami menegaskan bahwa anggapan bahwa ilmu kalam adalah bid’ah dan tidak dipikirkan oleh kalangan salaf adalah salah. Ia menyebutkan bahwa ulama salaf, termasuk Umar, Ibnu Umar, dan Imam Malik, sudah mengenal dan membahas ilmu kalam. Ilmu kalam yang dicela oleh Imam Syafi’i adalah yang berkembang di kalangan Muktazilah dan ahli bid’ah lainnya, bukan ilmu kalam yang mendukung Ahlussunnah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi’i dan ulama salaf tidak menolak ilmu kalam secara mutlak. Penolakan mereka lebih ditujukan kepada ilmu kalam yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah, bukan kepada ilmu kalam yang menguatkan keyakinan Ahlussunnah seperti yang dilakukan oleh Asy’ariyah-Maturidiyah.