Penganut teologi Hasyawiyah sering kali kesulitan memahami bagaimana rasanya menyembah Tuhan yang tidak terikat oleh tempat. Mereka beranggapan bahwa sosok yang tidak berada dalam ruang tertentu berarti tidak ada. Dalam pandangan mereka, Tuhan harus ada dalam batasan ruang agar dapat dihadapi dan ditunjuk. Oleh karena itu, mereka sering menentang Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) yang menegaskan bahwa Tuhan melampaui ruang dan waktu, karena Dia ada sebelum segala sesuatu diciptakan.
Menyembah Tuhan yang tidak terikat ruang dan waktu memberikan pengalaman spiritual yang mendalam. Dengan meyakini bahwa Tuhan tidak bertempat, kita berhadapan dengan kekuatan tak terbatas yang keberadaannya tidak tergantung pada apapun, seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam” (QS. Ali Imran: 97). Kita dapat merasakan kebesaran dan kedekatan-Nya tanpa batasan yang mengganggu pikiran.
Saat melaksanakan shalat, kita merasakan kehadiran-Nya bersama kita, sesuai dengan firman-Nya: “Dia bersama kalian di mana pun kalian berada” (QS. Al-Hadid: 4). Dalam posisi sujud, kita berada dalam kedekatan tertinggi dengan Allah, seperti sabda Nabi Muhammad (SAW): “Posisi terdekat seorang hamba dari Tuhannya adalah ketika sujud” (HR. Muslim). Ketika menghadap ke arah mana pun, kita yakin bahwa kita menghadap “wajah”-Nya (QS. Al-Baqarah: 115), tanpa merasa terikat pada arah tertentu.
Ketika bermunajat sendirian, kita tidak perlu berteriak memanggil-Nya, karena Dia selalu mendengar kita, seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Aku dekat. Aku menjawab panggilan orang yang memanggil-Ku” (QS. Al-Baqarah: 186). Dalam perjalanan, kita menyadari bahwa Tuhan lebih dekat daripada apapun di sekitar kita (HR. Muslim).
Kekuatan Tuhan mencakup seluruh jagad raya, dan kita tidak perlu merasa jauh dari-Nya, terlepas dari posisi fisik kita. Pertanyaan tentang bagaimana Tuhan bisa ada di atas dan bersama kita sekaligus tidak lagi menjadi masalah ketika kita memahami bahwa Dia melampaui ruang dan waktu. Keyakinan ini membebaskan kita dari keraguan dan kontradiksi yang sering diperdebatkan.
Realitasnya, fitrah manusia yang sejati adalah meyakini adanya Tuhan tanpa tambahan keyakinan tentang-Nya yang dipengaruhi oleh lingkungan. Dengan memahami bahwa Allah ada tanpa tempat, kita dapat fokus beribadah dan merasakan kemahakuasaan-Nya setiap saat. Wallahu a’lam.