- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Ekstremisme dalam Pemahaman Aqidah

Google Search Widget

Ekstremisme (ghuluw) dalam agama merupakan fenomena yang dapat menimpa siapa saja, termasuk para ahli hadits di masa klasik, terutama dalam konteks aqidah. Nabi Muhammad (SAW) telah mengingatkan umatnya agar tidak terjerumus dalam sikap ekstrem ini, sebagaimana sabdanya: “Kalian harus waspada pada ekstremisme dalam agama. Sesungguhnya yang mencelakakan umat sebelum kalian adalah bersikap ekstrem dalam agama.” (HR. Ibnu Hibban).

Salah satu contoh ekstremisme ini terlihat pada beberapa ahli hadits yang meriwayatkan pernyataan dari Abdullah bin Salam, seorang sahabat yang sebelumnya adalah pendeta Yahudi, dan Mujahid, seorang ulama Tabi’in. Mereka menyatakan bahwa Nabi Muhammad (SAW) akan berada di depan Allah (Azza Wa Jalla) pada hari kiamat, di atas kursi-Nya. Namun, pernyataan ini mengandung masalah rasional, karena Allah tidak dapat disifati dengan tindakan duduk yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk.

Meskipun terdapat penolakan terhadap pernyataan ini, beberapa ahli hadits tidak ragu untuk melontarkan vonis ekstrem kepada mereka yang menolak. Misalnya, Abu Bakr bin Abi Thalib menyatakan bahwa menolak pernyataan tersebut sama dengan menolak Allah, dan Ahmad bin Ashram al-Muzani menganggap penolak sebagai kafir. Berbagai tokoh lainnya juga memberikan pernyataan serupa, menjatuhkan vonis jahmiyah dan bahkan ancaman hukuman mati bagi penolak.

Namun, ada juga ulama hadits yang bersikap objektif dan tidak terpengaruh oleh fanatisme. Al-A’masy menyatakan bahwa tafsir Mujahid diambil dari informasi Ahli Kitab. Adz-Dzahabi menegaskan bahwa tidak ada satu pun teks hadits yang valid mengenai duduknya Nabi di atas Arasy. Sebaliknya, tafsiran yang sahih, yang diikuti oleh mayoritas ulama, menyatakan bahwa “tempat terpuji” bagi Nabi Muhammad (SAW) adalah kekuasaan untuk memberikan syafa’at pada hari kiamat, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits yang sahih.

Sayangnya, banyak dari pernyataan yang mengandung ekstremisme ini justru diangkat tanpa mempertimbangkan riwayat-riwayat yang lebih sahih. Hal ini menunjukkan bahwa para ahli hadits klasik tidak terhindar dari sikap berlebihan dalam agama, dan oleh karena itu, vonis mereka dalam hal aqidah tidak bisa diterima begitu saja. Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 14

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?