- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Makna Denotatif Sifat Allah dalam Ilmu Tauhid

Google Search Widget

Dalam diskusi mengenai aqidah, terdapat perdebatan antara para Imam Ahlussunnah mengenai apakah makna dhâhir (denotatif) dari sifat-sifat khabariyah Allah harus diabaikan atau diterima dengan penegasan bahwa makna tersebut layak bagi Allah. Kerancuan dalam hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan diskusi yang tidak berujung. Oleh karena itu, penting untuk memahami makna dhâhir serta bagaimana para ulama menyikapinya.

Secara bahasa, makna dhâhir merujuk pada makna yang tidak bersifat kiasan. Sebagai contoh, kata “yadu-Llah” secara dhâhir berarti “tangan Allah” tanpa perlu diartikan sebagai “kekuasaan Allah” atau “nikmat Allah.” Para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam menyikapi makna dhâhir ini.

Golongan pertama berpendapat untuk meniadakan makna dhâhir, karena dianggap mustahil bagi Allah. Imam al-Mufassir al-Qurthubi menyatakan bahwa mazhab Salaf meninggalkan takwil terhadap ayat-ayat sifat dan memastikan kemustahilan seluruh makna dhâhirnya. Beliau juga menegaskan bahwa mereka yang meyakini makna dhâhir adalah para musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).

Di sisi lain, golongan kedua menetapkan makna dhâhir sesuai dengan redaksi Al-Qur’an dan Hadits. Imam as-Subki menyatakan bahwa keterangan yang shahih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang sifat-sifat Allah harus diyakini makna dhâhirnya, sambil menyucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak ketika mendengar hal yang musykil. Imam az-Zarkasyi juga menegaskan hal yang sama, menekankan bahwa kita harus menyucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak ketika mendengar redaksi yang tampak mengandung sifat kebaruan dan perubahan.

Imam al-Asy’ari dalam al-Ibanah juga menetapkan bahwa Al-Qur’an harus dipahami secara dhâhir, dan makna dhâhir tidak dapat dihilangkan kecuali dengan hujjah.

Perselisihan dalam penetapan atau penafian makna dhâhir ini pada dasarnya adalah redaksional. Jika makna dhâhir diartikan sebagai makna asal yang dibawakan oleh Allah dan Rasulullah, tetapi bukan makna jismiyah, maka ini dapat diterima oleh para ulama. Namun, jika makna dhâhir diartikan sebagai makna jismiyah yang melekat pada makhluk, maka ini ditolak oleh seluruh ulama.

Adz-Dhahabi menjelaskan bahwa kata dhâhir memiliki dua makna. Yang benar adalah mengakui sifat-sifat Allah seperti Maha Mendengar, Melihat, dan Berkehendak, serta memahami redaksi tersebut sesuai dengan yang layak bagi Allah. Sebaliknya, makna dhâhir yang salah adalah menganggap Allah dapat disamakan dengan makhluk-Nya.

Dengan demikian, makna dhâhir yang diterima adalah yang mengarah pada tafwîdh, yaitu menyerahkan makna hakikat yang layak pada Allah. Sementara itu, makna dhâhir yang mengarah pada perbandingan dengan makhluk, seperti meyakini bahwa Allah turun dengan cara yang sama seperti makhluk, adalah makna yang ditolak karena merupakan aqidah musyabbihah.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

December 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?