Agama Islam memiliki banyak golongan keyakinan (firqah) yang berkembang dari masa ke masa. Beberapa di antaranya, seperti golongan Asy’ariyah, Maturidiyah, dan Thahawiyah, dianggap tidak bermasalah meskipun memiliki nama yang berbeda. Perbedaan ini umumnya terletak pada rincian ijtihad yang tidak mengarah pada penyesatan. Dalam konteks fiqih, terdapat empat mazhab yang juga tidak berbeda jauh, karena semuanya sepakat menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pijakan utama.
Di sisi lain, terdapat kelompok yang dianggap sesat oleh Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), seperti Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, dan lainnya. Pertanyaannya adalah, apakah golongan-golongan teologis ini bisa dianggap kafir? Sejauh mana perbedaan dalam aqidah membuat seseorang atau kelompok dianggap kafir?
Aswaja dikenal sebagai golongan yang paling toleran terhadap perbedaan keyakinan. Mereka berpendapat bahwa mayoritas golongan di luar mereka tidaklah kafir meskipun memiliki keyakinan yang berbeda. Imam Ibnu Hajar al-Haitamy menyatakan bahwa tidak ada seorang pun dari golongan luar yang dianggap kafir kecuali dalam hal-hal yang sudah diketahui bersama (dlarûriy). Ketidaktahuan terhadap Allah Ta’ala dari satu sisi tidak menjadikan seseorang kafir, karena semua golongan yang mengaku Muslim pada dasarnya mengakui adanya Allah yang Qadîm, Maha-Mengetahui, dan Maha-Kuasa.
Dalam teologi, Aswaja menolak teologi Muktazilah yang berlebihan dalam menyucikan Allah dengan tidak mengakui sifat-sifat-Nya, serta teologi Musyabbihah yang berlebihan menetapkan sifat Allah hingga menyerupakannya dengan makhluk. Namun, Aswaja tidak memvonis kafir kepada mereka, melainkan memahami bahwa kesalahan mereka berasal dari pemikiran yang keliru.
Kafir hanya dianggap bagi mereka yang secara jelas mengingkari hal-hal pokok yang diketahui umum dalam Islam, seperti mengingkari adanya Tuhan, kenabian, dan kehidupan setelah mati. Dalam hal-hal yang masih membuka ruang penafsiran, Aswaja cenderung untuk tidak mengafirkannya.
Berbeda dengan Aswaja, kelompok lain sering saling mengafirkan jika terdapat perbedaan pendapat, bahkan menganggapnya sebagai kewajiban untuk menjauhkan diri dari yang dianggap sesat. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi dalam Aswaja didasarkan pada prinsip untuk menjaga persatuan meskipun ada perbedaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Aswaja, hanya aliran yang nyata-nyata mengingkari ajaran pokok Islam yang dianggap kafir, sedangkan perbedaan dalam hal yang masih bisa ditafsirkan tidak serta merta menjadikan seseorang atau kelompok divonis kafir.