Di tengah kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar tentang doa dan sedekah sebagai upaya untuk menolak bala. Tradisi masyarakat, terutama pada malam nisfu Sya’ban, menunjukkan bahwa mereka sering mengajukan tiga permintaan kepada Allah (SWT). Namun, bagaimana cara kita memahami semua ini dalam konteks keimanan terhadap takdir?
Dalam ajaran Islam, terdapat dua jenis takdir, yaitu takdir mubram dan takdir muallaq. Takdir mubram adalah putusan Allah yang tidak dapat diubah, sementara takdir muallaq adalah putusan yang masih tergantung pada doa dan usaha manusia. Doa dianggap memiliki kekuatan untuk memengaruhi takdir yang masih menggantung di Lauh Mahfuzh. Hal ini sering kali disampaikan oleh para ustadz yang menekankan bahwa doa dapat “mengubah” putusan Allah.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tuhfatul Murid karya Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, doa bermanfaat dalam menghadapi takdir mubram dan muallaq. Meskipun takdir mubram tidak dapat diubah, doa dipercaya dapat mengurangi dampak buruk dari takdir tersebut. Misalnya, jika seseorang ditakdirkan mengalami kecelakaan, doa dapat menjadikan situasi tersebut lebih ringan, seolah-olah dampak dari kecelakaan itu tidak seberat yang ditentukan.
Sebaliknya, takdir muallaq dapat diubah melalui doa dan usaha. Dalam hal ini, ahlusunnah wal jamaah berpendapat bahwa manusia harus tetap berikhtiar dan berdoa, bukan menyerah begitu saja pada takdir. Hal ini menunjukkan pentingnya peran doa sebagai ikhtiar manusia untuk mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan.
Berbeda dengan pandangan muktazilah yang meragukan manfaat doa, kelompok ahlusunnah wal jamaah asy’ariyah tetap meyakini bahwa doa memiliki signifikansi yang besar dalam kehidupan seorang mukmin. Mereka tidak menganggap muktazilah sebagai kelompok kafir, melainkan sebagai bagian dari perbedaan pandangan dalam Islam.
Dalam konteks ini, penting bagi umat Islam untuk memahami makna dan peran doa serta ikhtiar dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kita dapat meningkatkan keimanan terhadap takdir dan tidak bersikap su’ul adab atau su’uzzhan kepada Allah (SWT). Wallahu a’lam.