Pertanyaan mengenai apa yang ada di atas Arasy sering kali memicu perdebatan di kalangan umat Islam. Banyak yang beranggapan bahwa jawabannya sudah jelas, yaitu Allah (SWT) sendiri. Namun, mengapa pertanyaan ini masih diajukan? Sebagian orang merasa bahwa di atas Arasy tidak ada apa-apa, sementara yang lain menganggapnya sebagai pertanyaan tentang hal ghaib yang sulit untuk dibahas.
Sebelum menjawab, penting untuk dicatat bahwa pertanyaan ini tidak tabu untuk dibahas, karena kita berbicara tentang makhluk yang disebut Arasy, bukan tentang Sang Khaliq. Pertanyaan mengenai hal ghaib dapat dijelaskan melalui riwayat-riwayat sahih yang ada. Salah satu riwayat yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaihi) menyatakan: “Ketika Allah (SWT) menentukan nasib manusia, Ia menulis di kitab-Nya yang berada di sisi-Nya di atas Arasy. Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan marah-Ku.” Hadits ini menunjukkan bahwa di atas Arasy terdapat Lauh Mahfûdh di sisi Allah (SWT).
Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa tidak ada masalah untuk memahami hadits tersebut secara zahir, yaitu bahwa Lauh Mahfûdh benar-benar berada di atas Arasy. Arasy adalah salah satu makhluk Allah, dan bisa jadi yang dimaksud dengan “di sisi-Nya” adalah dalam konteks ilmu Allah (SWT), bukan tempat secara fisik. Hal ini menunjukkan kesempurnaan Lauh Mahfûdh yang tersembunyi dari makhluk dan terangkat dari batas pengetahuan mereka.
Lebih lanjut, Imam al-Hafidz Badruddin al-Aini menegaskan bahwa Lauh Mahfûdh berada di sisi Allah, dan penyebutan sisi di sini bukan dalam konteks tempat, melainkan sebagai isyarat tentang kesempurnaan keberadaannya dibanding makhluk lainnya.
Al-Imam Ibnu Furak juga menjelaskan bahwa mungkin saja Lauh Mahfûdh diletakkan di atas Arasy dengan makna menyentuh Arasy, sementara pengetahuan Allah (SWT) meliputi segala yang ada di dalamnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang berada di atas Arasy adalah Lauh Mahfûdh, tempat di mana catatan takdir seluruh semesta tertulis.
Mengenai pernyataan bahwa Allah (SWT) istawa atas Arasy, Imam al-Baihaqi menjelaskan bahwa makna istawa bukan berarti Allah bertempat atau terikat dalam arah tertentu, melainkan Allah (SWT) terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Ungkapan ini merupakan wahyu yang harus diterima, dan kita menafikan mekanisme teknis dari Allah (SWT) karena tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Dengan penjelasan ini, terlihat bahwa tidak ada kontradiksi antara meyakini Allah (SWT) istawa atas Arasy dan meyakini bahwa di atas Arasy ada Lauh Mahfûdh. Dalam pandangan sebagian ulama salaf, Arasy tidaklah kosong; di atasnya ada Lauh Mahfûdh dan tindakan Allah (SWT) yang disebut istawa, tanpa berarti bertempat secara fisik. Wallahua’lam.