Dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Allah bukanlah jisim atau eksistensi fisik yang memiliki volume. Banyak ulama yang menolak makna fisikal (jismiyah) dari Allah, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal yang menegaskan bahwa istilah-istilah tersebut diambil dari syariah dan bahasa, di mana Allah berada di luar definisi jisim. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyebut Allah sebagai jisim karena Allah tidak memiliki makna jismiyah.
Namun, di Indonesia, ada ungkapan umum bahwa Allah bersemayam di atas Arasy. Pertanyaannya adalah apakah kita boleh menggunakan ungkapan ini, mengingat bersemayam adalah tindakan fisik yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk? Dalam Al-Qur’an, surat at-Taha ayat 5, terdapat terjemahan yang menyatakan bahwa “Tuhan yang Mahapemurah bersemayam di atas ‘Arasy”. Terjemahan ini diakui sebagai sifat Allah yang harus diyakini, sesuai dengan kebesaran dan kesucian-Nya.
Meskipun terjemahan tersebut tampak sederhana, kita tidak bisa hanya mengandalkan terjemahan untuk membahas masalah aqidah. Terjemahan dapat berbeda tergantung pada mazhab yang dianut, dan ayat Al-Qur’an memiliki makna yang kaya. Istilah “istawa” yang diterjemahkan sebagai “bersemayam” memiliki konotasi yang perlu dipahami lebih dalam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bersemayam berarti duduk, berkediaman, atau tinggal. Makna ini mengarah pada jismiyah yang tidak layak bagi kesucian Allah.
Imam Syafi’i sendiri mengecam keras pemahaman bahwa Allah duduk di Arasy, bahkan menganggapnya sebagai pernyataan yang bisa mengakibatkan kekafiran. Hal ini menunjukkan bahwa menyatakan Allah bersemayam di atas Arasy sama dengan menyatakan bahwa Allah memiliki fisik yang terbatas, yang jelas tidak sesuai dengan sifat-Nya yang Maha Suci.
Tim penerjemah Kementerian Agama tampaknya menyadari potensi kesalahpahaman ini, sehingga mereka menambahkan catatan bahwa “bersemayam di atas ‘Arasy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani”. Namun, pilihan kata yang dipakai dalam terjemahan tersebut kurang tepat, karena kata “bersemayam” tidak memiliki makna lain dalam bahasa Indonesia selain makna jismiyah. Hal ini berisiko menimbulkan salah pengertian di kalangan masyarakat awam.
Dalam bahasa Arab, kata “istawa” tidak selalu bermakna jismiyah, melainkan bisa memiliki berbagai makna tergantung konteks. Berbeda dengan kata “yad” yang diterjemahkan sebagai “tangan”, yang juga bisa memiliki makna non-jismiyah seperti kekuasaan. Oleh karena itu, lebih aman jika kata-kata yang berkaitan dengan sifat khabariyah tidak diterjemahkan, tetapi dibiarkan apa adanya dengan penjelasan makna yang sesuai bagi Allah. Wallahua’lam.