- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Makna Kemahabesaran Allah dalam Perspektif Ahlussunnah wal Jamaah

Google Search Widget

Seluruh umat Muslim sepakat bahwa Allah (SWT) adalah Mahabesar. Pengakuan ini diungkapkan setiap hari melalui kalimat “Allahu Akbar,” yang menegaskan bahwa tidak ada yang lebih besar dari-Nya. Namun, bagaimana seharusnya kita memaknai kemahabesaran ini? Salah satu kaidah penting dalam memahami sifat Allah adalah larangan untuk membahas-Nya seperti kita membahas objek materi. Kemahabesaran Allah adalah sifat mutlak yang dimiliki-Nya, tidak bisa diukur dengan perbandingan terhadap makhluk manapun. Allah (SWT) sudah Mahabesar sejak sebelum waktu ada, saat seluruh alam tercipta, dan akan tetap Mahabesar selamanya.

Kemahabesaran Allah tidak boleh dimaknai sebagai ukuran fisik, seperti kita memaknai hal-hal lain di alam semesta yang bersifat materi. Dalam konteks materi, sesuatu dianggap besar jika menghabiskan lebih banyak ruang dibandingkan dengan yang lain. Contohnya, kita bisa membandingkan ukuran mikroba dengan manusia, manusia dengan planet Bumi, dan seterusnya. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apa makna besar dalam konteks kemuliaan? Jika ukuran fisik menjadi alasan untuk diagungkan, maka mikroba seharusnya menyembah manusia, dan manusia seharusnya menyembah matahari dan bintang-bintang, karena mereka lebih besar secara ukuran. Namun, pandangan ini jelas salah menurut Al-Qur’an dan Hadits, yang menyatakan bahwa menyembah sesuatu hanya karena ukurannya adalah kesesatan.

Segala sesuatu yang bersifat fisik memiliki batasan. Jika kita memaknai kebesaran Allah dengan perspektif material, kita sama saja mengklaim bahwa Allah memiliki batasan ukuran. Jika Allah memiliki batasan, maka siapa yang membatasi-Nya? Jika yang membatasi adalah entitas lain, maka Allah memiliki sekutu. Jika yang membatasi adalah diri-Nya sendiri, berarti Allah mengalami perubahan. Ini adalah pertanyaan penting yang harus diajukan ketika membahas tentang kebesaran Tuhan. Ibnu Mandhur, seorang pakar bahasa, mengartikan batasan fisik sebagai “ujung segala sesuatu.” Lantas, apakah Allah memiliki batasan fisik? Ahlussunnah wal Jamaah sepakat untuk menjawab: Tidak!

Imam Ahmad, yang merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam, menegaskan bahwa Allah tidak mengalami perubahan dan tidak memiliki batasan fisik, baik sebelum maupun setelah penciptaan Arasy. Dalam hal ini, Imam al-Thahawi juga menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari batasan ukuran dan arah, berbeda dengan makhluk yang terbatas.

Banyak ulama, seperti Imam ar-Razi dan al-Baji, juga menafikan adanya batasan fisik pada Allah. Jika kemahabesaran Allah tidak dapat dipahami dalam konteks ukuran fisik, bagaimana Ahlussunnah memahaminya? Imam al-Ghazali menjelaskan dalam karyanya bahwa al-Kabir (Mahabesar) adalah yang memiliki keagungan, yang merupakan ungkapan dari kesempurnaan Dzat. Kesempurnaan ini mencakup dua aspek: pertama, Allah adalah yang paling lama ada, dan kedua, Allah adalah yang paling hebat.

Dalam makna pertama, Allah (SWT) ada sebelum segala sesuatu dan tidak memiliki awal. Dalam makna kedua, Allah adalah yang paling hebat, yang tidak ada hubungannya dengan ukuran fisik. Dengan demikian, makna kemahabesaran Allah dalam perspektif Ahlussunnah wal Jamaah adalah bahwa Allah adalah yang paling besar dan paling berkuasa, yang tidak dapat dibandingkan dengan makhluk apapun. Ini adalah pemahaman yang tidak cacat baik secara nash, bahasa, maupun akal. Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

December 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?