Salah satu pertanyaan yang sering muncul di kalangan teolog Muslim adalah apakah Allah berada di luar alam atau di dalamnya. Pertanyaan ini menjadi sumber kontroversi karena berkaitan dengan aqidah dan merupakan salah satu poin pembeda antara Ahlussunnah wal Jama’ah dan golongan lainnya.
Menjawab pertanyaan ini tidaklah sederhana. Jika kita mengatakan bahwa Allah berada di dalam alam, maka kita seolah menyatakan bahwa Allah bertempat dan bercampur dengan makhluk-Nya. Sebaliknya, jika kita menyatakan bahwa Allah berada di luar alam, kita mengimplikasikan bahwa Allah terbatas dalam ruang dan arah tertentu. Kedua jawaban ini, pada dasarnya, tidak dapat diterima karena Allah (SWT) adalah Zat yang tidak terbatas dalam ruang atau waktu. Oleh karena itu, para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa Allah tidak di luar alam dan tidak juga di dalamnya.
Imam Ibnul Jauzi (rahimahullah) menjelaskan bahwa Allah tidak berada di dalam atau di luar alam karena kedua istilah tersebut mengimplikasikan adanya batasan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Imam Abu al-Mudhaffar al-Isfirayini (rahimahullah) yang menegaskan bahwa gerakan, diam, bersambung, dan berpisah tidak mungkin terjadi pada Allah (SWT) karena semua itu menuntut adanya batasan.
Meskipun banyak ulama yang menjelaskan hal ini, masih banyak orang yang tidak memahami penjelasan tersebut. Mereka mengira bahwa pernyataan “tak di dalam dan tak di luar” berarti menafikan eksistensi Tuhan. Hal ini juga terjadi pada beberapa kalangan modern, termasuk di kalangan pelaku Salafi.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (rahimahullah) juga mencatat bahwa pada zamannya, banyak orang yang bingung dengan istilah ini hingga menolaknya. Ia menekankan bahwa Allah (SWT) Maha Suci dari tempat, ujung, dan arah, dan tidak berada di dalam atau di luar alam.
Imam Izzuddin bin Abdissalam (rahimahullah) menambahkan bahwa meyakini eksistensi yang tidak bergerak, tidak diam, tidak bertempat di dalam atau terpisah dari alam adalah hal yang sulit dipahami oleh banyak orang. Ia menyatakan bahwa pemahaman ini hanya dapat dicapai setelah mempelajari dalil-dalil yang kompleks.
Pada dasarnya, jika kita memahami bahwa Allah (SWT) bukanlah jism (materi), maka pertanyaan tentang keberadaan-Nya di dalam atau di luar alam menjadi tidak relevan. Pertanyaan tersebut mirip dengan menanyakan apakah sebongkah batu itu lelaki atau perempuan, atau apakah seekor kambing itu cerdas atau bodoh. Jawaban untuk semua pertanyaan tersebut adalah tidak relevan karena objek yang dibicarakan tidak memiliki sifat-sifat yang ditanyakan.
Dengan demikian, pemahaman yang benar tentang keberadaan Allah (SWT) sangat penting dan harus dijelaskan dengan cara yang tepat agar tidak menimbulkan kebingungan di kalangan umat. Wallahu a’lam.