- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Apakah Allah Bergerak?

Google Search Widget

Dalam pembahasan mengenai sifat Allah yang berkaitan dengan tindakan (af’âl), seperti istiwâ’, nuzûl (turun), dan majî’ (datang), muncul pemahaman di kalangan sebagian orang bahwa Allah bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Pemahaman ini bukanlah hal baru, melainkan telah ada sejak era klasik, terutama di kalangan sebagian kecil ahli hadits. Ibnu Rajab al-Hanbali (795 H) mencatat bahwa beberapa ahli hadits dari kalangan Hanabilah di masa belakangan secara eksplisit mengatakan bahwa Allah bergerak, bahkan menisbatkannya kepada Imam Ahmad, meskipun pernyataan tersebut tidak dapat dibenarkan. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun sanad yang valid untuk klaim tersebut.

Sebagian ulama Hanbali memang menganggap bahwa Allah bergerak, namun mereka tampaknya mengabaikan fakta bahwa tidak ada ayat atau hadis yang menyatakan bahwa Allah bergerak. Gerakan adalah sifat yang hanya dapat dilakukan oleh jism (materi) yang terbatas dalam ruang. Akibatnya, muncul anggapan bahwa banyak pengikut Imam Ahmad di masa belakangan memiliki aqidah tajsîm (meyakini bahwa Allah berbentuk fisik). Berbeda dengan pandangan tersebut, para ulama Ahlussunnah menyatakan dengan tegas bahwa Allah tidak bergerak dan mustahil bergerak, karena Allah bukanlah jism. Mengatakan bahwa Allah bergerak akan menodai kesucian-Nya dan melekatkan sifat makhluk kepada-Nya.

Berikut adalah beberapa pendapat dari para ulama mengenai hal ini:

  1. Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) menyatakan bahwa tidak boleh dikatakan bahwa Allah bergerak atau berpindah.
  2. Imam al-Thabari (310 H) menegaskan bahwa Allah Maha Tinggi di atas Arasy, bukan dalam arti berpindah atau bergerak.
  3. Imam al-Baihaqi (458 H) menjelaskan bahwa tindakan Allah ada tanpa sentuhan atau pergerakan.
  4. Imam al-Qurthuby (671 H) menekankan pentingnya menyucikan Allah dari gerakan, perpindahan, dan bertempat.
  5. Ibnu Abdil Barr (461 H) menyatakan bahwa Allah tidak berada pada tempat yang memungkinkan adanya gerakan.

Ibnu Abdil Barr juga menjelaskan bahwa kedatangan Allah bukanlah sebuah gerakan, karena Allah bukanlah materi. Imam an-Nawawi (676 H) mencatat bahwa ada dua mazhab yang terkenal dalam memahami hadits tentang sifat Allah, di mana mayoritas ulama Salaf berpegang pada keyakinan bahwa makna lahiriah dari hadits tersebut bukanlah yang dimaksud dan Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk.

Aqidah para imam Salaf dan ulama sunnah dari kalangan belakangan (khalaf) adalah bahwa Allah disucikan dari pergerakan, perubahan, dan bertempat. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya. Qadli Abu Ya’la (458 H), meskipun dikenal terpengaruh oleh aqidah tajsîm, juga menyatakan bahwa Allah tidak bergerak.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan para ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa Allah tidak bergerak dan bukanlah jism. Hal ini merupakan keyakinan mayoritas ulama dan menjadi landasan bagi mereka yang mencari kebenaran dalam memahami sifat Allah. Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?