Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah (SAW) bersabda bahwa Allah (SWT) turun ke langit dunia setiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir, menyerukan kepada hamba-Nya yang berdoa, meminta, dan memohon ampun. Penafsiran Ahlussunnah Wal Jamaah menyatakan bahwa kata “turun” dalam hadits tersebut tidak dapat dipahami secara hakiki, karena Allah (SWT) bukanlah jisim yang terikat ruang. Pemahaman ini selaras dengan dalil-dalil lain mengenai sifat Allah (SWT) dan tidak bertentangan.
Namun, beberapa tokoh modern dari kalangan pendaku Salafi, seperti Syekh Ibnu Utsaimin, berpendapat bahwa turunnya Allah (SWT) adalah hakiki. Dalam kitabnya, ia menyatakan bahwa Allah (SWT) turun ke langit dunia yang terdekat dengan bumi untuk mendekatkan diri kepada hamba-Nya. Pernyataan ini, yang mengindikasikan adanya pergerakan Dzat Allah (SWT), bertentangan dengan argumen Ahlussunnah yang menegaskan bahwa pergerakan adalah sifat baru dan Allah (SWT) suci dari sifat-sifat baru.
Syekh Ibnu Utsaimin juga mengklaim bahwa meskipun Allah (SWT) turun, Ia tetap Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Namun, pernyataan ini menciptakan kontradiksi, karena jika Allah (SWT) turun secara hakiki, maka Ia seharusnya berada di bawah langit yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa pemahaman turunnya Allah (SWT) dalam arti hakiki tidak dapat diterima secara logis.
Lebih lanjut, Syekh Ibnu Utsaimin menolak takwil atau tafwidh, yang berarti menafsirkan atau menyerahkan makna hakikat kepada Allah (SWT), sehingga penjelasannya menjadi sulit dipahami. Ia juga menegaskan bahwa Allah (SWT) berada di atas Arasy secara hakiki, tetapi juga turun ke langit dunia secara hakiki, yang lagi-lagi menciptakan kebingungan.
Argumen bahwa pembahasan ini adalah kebatilan karena tidak pernah dibahas oleh para sahabat adalah lemah, karena banyak isu yang muncul setelah masa sahabat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kontradiksi ini dapat dihindari jika para pendaku Salafi mau melepaskan istilah “hakikat” yang tidak pernah digunakan oleh Rasulullah (SAW) dan para sahabat.
Kesimpulannya, pemahaman tentang turunnya Allah (SWT) haruslah konsisten dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Agung dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Sebagai umat Muslim, kita harus berpegang pada ajaran yang sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah dan menjauhi pemahaman yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut. Wallahu a’lam.