Menetapkan sifat kemahatinggian Allah (SWT) bukan berarti menentukan arah atas bagi-Nya. Dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, sifat ‘uluw menggambarkan kemuliaan Allah yang tidak terbatas oleh ruang atau arah. Secara etimologis, ‘uluw berarti ketinggian, dan secara terminologis, ini dipahami sebagai sifat Kemahatinggian Allah di atas segalanya. Ungkapan yang sering digunakan untuk menyebut sifat ini termasuk Allah Ta’âlâ, yang berarti Allah Yang Mahatinggi, dan Allah subhânahu wata’âlâ, yang berarti Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi.
Salah satu bacaan yang mencerminkan sifat ini adalah subhâna rabbiy al-a’lâ, yang berarti Mahasuci Tuhanku yang Mahatinggi. Dalam Asmaul Husna, terdapat nama al-‘Aliyyu dan al-Muta’âl, keduanya merujuk kepada Yang Mahatinggi. Sebagian ungkapan yang menunjukkan ketinggian Allah, seperti di langit dan di atas Arasy, menjadi bagian dari pemahaman ini.
Semua umat Islam umumnya menerima sifat ‘uluw ini, kecuali golongan Jahmiyah yang telah musnah, yang menolak pengakuan akan sifat Allah. Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki pemahaman yang berbeda dibandingkan dengan kelompok teologis lain, seperti Mujassimah-Musyabbihah yang menganggap Allah memiliki sifat fisik, dan Jahmiyah yang terlalu mengedepankan akal. Dalam perspektif Ahlussunnah wal Jama’ah, sifat ‘uluw tidak berarti ketinggian dalam arti fisik atau ruang, sebab Allah bukanlah entitas fisik yang terikat oleh arah.
Imam at-Thahawi al-Hanafi dalam al-‘Aqîdah at-Thahâwiyah menjelaskan bahwa Allah Maha Suci dari batasan dan ukuran, serta tidak terikat oleh arah seperti halnya makhluk. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Imam Ibnul Jauzi al-Hanbali, yang menegaskan bahwa Allah tidak memiliki arah karena arah mengimplikasikan kekosongan dari yang lain.
Makna sifat ‘uluw yang dimaksud dalam al-Qur’an dan hadits dijelaskan oleh Imam al-Hafidz al-Baihaqi. Ia menyatakan bahwa Allah adalah Dzat yang dalam hal kemuliaan tidak ada satupun yang di atas-Nya, dan tidak ada yang setara dengan-Nya dalam hal ketinggian. Ini adalah ketinggian yang mutlak, bukan ketinggian yang terbatas dalam arah.
Menetapkan sifat ‘uluw tidak berarti menetapkan arah atas bagi Allah. Asy’ariyah, meskipun menafikan arah bagi Allah, tidak berarti menafikan sifat ‘uluw. Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa kemustahilan arah bagi Allah tidak berarti Dia tidak bisa disifati dengan sifat al-‘uluw. Penyifatan ini adalah dari segi makna, bukan dari segi fisik.
Ketika membahas firman Allah mengenai keberadaan-Nya di langit dan di atas Arasy, Imam al-Hafidz al-Baihaqi menegaskan bahwa ungkapan tersebut tidak berarti Allah bertempat di Arasy atau terikat dalam arah tertentu. Sebaliknya, Allah terpisah dari seluruh ciptaan-Nya.
Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang diajarkan oleh para Imam Mazhab dan Imam Ahli Hadits terkemuka menegaskan bahwa sifat ‘uluw tidak berarti ketinggian secara fisik. Golongan Mujassimah dan Musyabbihah, yang merupakan minoritas dalam umat Islam, meyakini bahwa sifat ‘uluw harus diartikan sebagai ketinggian fisik di atas. Keyakinan ini jelas menyimpang, karena meniscayakan bentuk fisik bagi Allah, yang bertentangan dengan sifat-Nya yang tidak terikat oleh waktu dan ruang. Sifat Allah tidak memiliki awal mula dan tidak akan pernah sirna, sehingga keyakinan akan sifat ‘uluw sebagai ketinggian fisik adalah salah. Wallahu A’lam.