Salah satu argumen yang sering digunakan oleh para kritikus Asy’ariyah untuk menunjukkan bahwa manhaj teologi ini ditolak oleh para ulama adalah pernyataan Syekh Ibnu Suraij as-Syafi’i, seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’iyah yang dikenal sebagai Syafi’i kedua. Syekh Ibnu Qayyim menukil pernyataan Ibnu Suraij yang menyatakan: “Kami tidak berkata dengan takwilnya Muktazilah, Asy’ariyah, Jahmiyah, Ateis, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan Mukayyifah, tetapi kami menerimanya tanpa takwil dan kami mengimaninya tanpa menyerupakan.”
Redaksi pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Ibnu Suraij menyejajarkan Asy’ariyah dengan golongan yang dianggap sebagai ahli bid’ah yang ditolak oleh kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, perlu dicatat bahwa pernyataan ini ditulis oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah (751 H) dalam kitabnya yang ditujukan untuk menyerang para Jahmiyah yang berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat apa pun.
Validitas pernyataan tersebut dipertanyakan, mengingat Ibnu Suraij wafat pada tahun 306 H, sementara Imam al-Asy’ari baru bertobat dari ajaran Muktazilah pada tahun 300 H. Dengan demikian, pada periode tersebut, istilah Asy’ariyah sebagai pengikut Imam al-Asy’ari belum ada, dan kitab-kitab beliau juga belum sepenuhnya ditulis. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi Ibnu Suraij untuk menolak takwilan Asy’ariyah ketika “mazhab” tersebut belum terbentuk.
Bukti lain yang memperkuat ketidakvalidan pernyataan tersebut adalah pengakuan Ibnu Qayyim bahwa pernyataan tersebut berasal dari jalur sanad Abu al-Qasim Sa’ad bin Ali az-Zanjani dari Ibnu Suraij. Namun, Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubalâ’ mencatat bahwa Syaikh az-Zanjani lahir pada tahun 380 H, yang berarti 74 tahun setelah wafatnya Syekh Ibnu Suraij. Dengan demikian, sanadnya terputus dan tidak dapat diterima secara ilmiah.
Sebaliknya, Syekh Adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw menukil pernyataan Ibnu Suraij dengan redaksi yang berbeda: “Kami tidak mentakwilnya dengan takwil orang-orang yang menyimpang dan tak membawanya sesuai makna penyerupaan orang-orang musyabbihah.” Redaksi ini lebih masuk akal karena tidak menyebut “Asy’ariyah” yang belum ada pada waktu itu. Namun, redaksi tersebut juga memiliki masalah sanad, karena tidak jelas apakah az-Zanjani mendengar langsung dari sumbernya.
Jika redaksi versi Adz-Dzahabi dianggap sahih, maka orang-orang yang dimaksud sebagai penyimpang adalah golongan yang dikenal sesat karena takwilan mereka yang menafikan sifat-sifat Allah, yaitu Jahmiyah dan Muktazilah. Sementara itu, Imam al-Asy’ari dan murid-muridnya tidak terbiasa mentakwil sifat-sifat Allah, melainkan lebih memilih metode tafwîdh, yaitu menyerahkan makna definitif suatu sifat kepada Allah tanpa membahas secara mendalam.
Wallahu a’lam.