Manhaj teologi Asy’ariyah, bersama dengan Maturidiyah, telah diikuti oleh mayoritas ulama dari empat mazhab selama lebih dari seribu tahun. Namun, terdapat pernyataan kontroversial dari seorang tokoh bernama Ibnu Khuwaizi Mandad yang menyatakan bahwa dalam Mazhab Malikiyah, seorang Asy’ari tidak diterima persaksiannya, dikucilkan, dan diminta untuk bertobat atas ajaran yang dianggap bid’ah. Pernyataan ini sering dikutip oleh para pengkritik mazhab Asy’ariyah, termasuk dalam karya Safar Hawali berjudul Manhaj al-Asyâ’irah fî al-‘Aqîdah dan berbagai artikel oleh pendukung Salafi di internet.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pernyataannya, penting untuk mengetahui profil Ibnu Khuwaizi Mandad. Dalam Bahasa Arab, namanya ditulis sebagai ابن خُوَيْزِ مَنْدادُ. Al-Fairuzabadi dalam kamus al-Muhîth menyebutkan ejaannya sebagai Ibnu Khuwaizi Mandad. Berbagai kitab profil tokoh, seperti Lisân al-Mîzan karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalany dan al-Wâfi bi al-Wafâyât karya as-Shafady, tidak memberikan informasi mendetail tentang tokoh ini. Namun, disepakati bahwa ia merupakan seorang tokoh bermazhab Malikiyah yang berguru kepada al-Imam Abu Bakr al-Abhari al-Maliky (375 H). Ibnu Khuwaizi Mandad dikenal memiliki beberapa karya dan wafat pada akhir abad keempat hijriah.
Pernyataan kontroversialnya dicatat oleh Syekh Ibnu Abdil Barr al-Maliky (463 H) dalam kitabnya Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi Wafadlihi, yang menyebutkan bahwa Ibnu Khuwaizi Mandad berpendapat bahwa orang-orang yang tersesat (ahl al-ahwa’) menurut Imam Malik dan sahabat-sahabatnya adalah para ahli kalam, termasuk Asy’ariyah. Ia menegaskan bahwa persaksian mereka tidak diterima dalam Islam dan mereka harus dikucilkan serta dibina atas bid’ahnya. Jika mereka terus melanjutkan bid’ah tersebut, mereka harus bertobat.
Namun, pernyataan ini memiliki beberapa masalah serius. Pertama, profil Ibnu Khuwaizi Mandad sendiri dikenal bermasalah. Ia dianggap memiliki pendapat yang aneh dan kurang menguasai fiqih. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mencatat bahwa pendapatnya tidak diakui oleh para tokoh mazhab yang lebih cerdas. Kedua, sanad riwayat pernyataan tersebut juga dipertanyakan, karena terdapat tokoh dalam sanad yang tidak memiliki reputasi yang jelas.
Ketiga, pernyataan tersebut bertentangan dengan kesaksian para ulama lain. Imam Tajuddin As Subki dalam Thabaqât as-Syâfi’iyah menyatakan bahwa ulama Malikiyah sangat membela mazhab Asy’ariyah dan membid’ahkan orang yang menentang mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Asy’ariyah diterima dalam kalangan Malikiyah, bertentangan dengan klaim Ibnu Khuwaizi Mandad.
Keberadaan tokoh terkenal seperti Al-Baqillany (403 H), yang merupakan pejuang Asy’ariyah dan dihormati di kalangan ulama Ahlussunnah, juga menambah bukti bahwa Ibnu Khuwaizi Mandad tidak dapat dianggap mewakili pandangan umum Mazhab Malikiyah. Al-Baqillany dikenal sebagai pendiri kedua mazhab Asy’ariyah dan sangat dihormati oleh para ulama di masanya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pernyataan Ibnu Khuwaizi Mandad yang mengklaim bahwa Asy’ariyah ditolak dan dikucilkan tidak dapat diterima secara ilmiah dan tidak layak dijadikan pedoman dalam kajian teologi Islam. Wallahu a’lam.