Teologi Ahlussunnah wal Jama’ah yang diwakili oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah dikenal dengan argumen rasionalnya dalam membahas persoalan aqidah. Mereka menyusun premis-premis logis secara sistematis sehingga menghasilkan kesimpulan yang sulit dibantah secara rasional. Namun, hal ini sering disalahpahami sebagai argumen yang hanya berdasarkan akal, bukan berdasarkan teks dari Allah atau Rasulullah (SAW). Contohnya, penolakan teolog Ahlussunnah terhadap makna fisikal Dzat Allah. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak mungkin berupa jism (entitas fisik) karena semua jism adalah setara dalam hakikat, hanya berbeda dalam bentuk dan karakter. Seluruh jism memiliki bentuk dan ukuran tertentu yang menempati ruang tertentu, yang mengindikasikan adanya pencipta atau evolusi. Jika diterapkan pada Tuhan, ini berarti ada pihak lain yang membentuk-Nya atau bahwa Tuhan berevolusi, yang jelas tidak mungkin karena hal tersebut adalah ciri makhluk.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Allah pastilah bukan jism, sehingga seluruh makna teks ayat atau hadits yang mengarah pada jism tidak boleh dipahami secara literal. Argumen ini, meskipun tampak rasional, sebenarnya dibuat untuk meneguhkan teks ayat atau hadits yang muhkam (yang maknanya definitif) sebagai rujukan dalam aqidah. Beberapa teks yang menjadi rujukan antara lain: “Tiada satupun yang serupa dalam hal apapun dengan Allah. Dia Maha Mendengar dan Melihat” (QS. As-Syurâ: 11), “Apakah kamu tahu ada yang sama dengan-Nya?” (QS. Maryam: 65), dan “Tak ada yang setara dengan-Nya satu pun” (QS. Al-Ikhlâs: 4).
Seluruh jism pasti memiliki keserupaan dan kesamaan. Meskipun ada perbedaan struktur, seperti antara ular dan gajah, manusia dan kera, serta manusia dan batu, pada dasarnya semua itu memiliki kesetaraan sebagai susunan materi yang bervolume. Bentuk fisik juga merupakan susunan yang pasti ada yang menyusunnya, seperti dijelaskan dalam firman Allah: “Dalam bentuk fisik apa pun sesuai kehendak-Nya Allah menyusunmu” (QS. Al-Infithar: 8). Dengan demikian, argumen rasional untuk menolak makna jismiyah sejatinya bertujuan untuk membela teks ayat-ayat kesucian Allah (tanzîh).
Metode dan kesimpulan ini juga dipegang oleh ulama salaf sebelum lahirnya manhaj teologi Asy’ariyah. Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dinukil oleh Imam Hanabilah, Abu Fadl at-Tamimy, menegaskan bahwa istilah-istilah diambil dari syariat dan bahasa, sedangkan Allah berbeda dari makna jismiyah, sehingga tidak boleh menyebut-Nya sebagai jism.
Prinsip teologi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah menetapkan seluruh sifat yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits sahih. Setiap teks yang menyebutkan sifat Tuhan tidak ada yang ditolak, meskipun jika ada teks sifat Tuhan yang bertentangan dengan ayat-ayat muhkam, teks tersebut tetap diakui tetapi tidak boleh dipahami secara literal agar tidak kontradiktif. Teks yang tidak boleh dipahami secara literal dapat dibaca ulang (imrâr) tanpa membahas lebih dalam hakikat maknanya (tafwîdh) atau maknanya dialihkan ke makna yang layak bagi Allah (ta’wîl).
Untuk menguji konsistensi ulama Ahlussunnah dalam pembelaan terhadap teks yang dibawa oleh Rasulullah (SAW), Imam Abu Hasan al-Asy’ari mengajukan pertanyaan provokatif mengenai sikap Ahlussunnah jika ada teks yang menyatakan bahwa Allah adalah jism. Imam Abu Hasan al-Asy’ari menjawab bahwa jika ada teks yang sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah, maka itu tidak diingkari. Namun, makna tersebut tidak berarti bahwa Allah adalah tempat bagi gerakan atau tersusun dari beberapa unsur, melainkan bahwa Allah “melakukan” gerakan dan mandiri tanpa bergantung pada yang lain.
Dengan demikian, bahkan jika ada ayat atau hadits yang menyatakan bahwa Allah adalah jism, Imam Asy’ari akan menetapkannya, tentu dengan makna yang disesuaikan agar tidak bertentangan dengan ayat-ayat muhkam. Ini menunjukkan bahwa teologi Asy’ariyah adalah teologi yang sangat tekstual, dan tekstualitas tersebut dipertahankan dengan argumen rasional dalam diskusi dengan aliran-aliran menyimpang. Ini menjadi nilai tambah yang jarang dimiliki oleh golongan lainnya.