Manhaj aqidah Asy’ariyah menetapkan semua sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadits. Namun, para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) menegaskan bahwa tidak semua yang dikatakan Allah tentang Diri-Nya dianggap sebagai sifat yang melekat pada Dzat-Nya. Beberapa sifat, seperti nisyân (lupa), adalah mustahil dimiliki oleh Tuhan. Dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan: “Hari ini Aku melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan perjumpaan dengan hari ini.” (QS. Al-A’raf: 51). Pernyataan ini tidak berarti Allah memiliki sifat lupa, melainkan mengabaikan mereka.
Demikian juga sifat fisikal atau jismiyah tidak mungkin dimiliki oleh Allah. Allah berbeda secara mutlak dengan seluruh makhluk-Nya, seperti dalam firman-Nya: “Tiada satupun yang serupa dalam hal apapun dengan Allah.” (QS. As-Syurâ: 11). Jika Allah diyakini memiliki bentuk fisikal, maka akan ada yang serupa dan setara dengan-Nya, yang bertentangan dengan keyakinan bahwa Allah adalah Maha Esa dan tidak ada yang menyamainya.
Seluruh ulama sepakat bahwa tidak ada satu pun dari sifat Allah yang memiliki makna fisikal. Allah mendengar tanpa organ pendengaran, melihat tanpa organ penglihatan, dan hidup tanpa bentuk fisikal. Sifat-sifat seperti yad (tangan) dan wajh (wajah) seharusnya dipahami sebagai sifat yang hanya Allah yang tahu bagaimana hakikatnya, tanpa disamakan dengan organ tubuh.
Imam al-Hafidz al-Baihaqy al-Asy’ary menegaskan bahwa istiwa’ Allah tidak bermakna berada di suatu tempat atau menyentuh makhluk-Nya. Allah istiwa’ di atas Aras-Nya tanpa ada tata cara atau pertanyaan di mana. Sifat-sifat Allah tidak dapat dipahami dengan cara fisikal, dan ini merupakan konsensus di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.
Polemik utama terletak pada keberadaan sifat fisikal bagi Dzat Allah. Golongan Mujassimah dan Musyabbihah menetapkan adanya bentuk fisik bagi Allah, sedangkan seluruh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah menolaknya. Penolakan ini bukan terhadap sifat-sifat yang datang dari Allah dan Rasulullah, melainkan pada penafsiran fisikal terhadap sifat-sifat tersebut. Ini sejalan dengan penegasan bahwa sifat lupa adalah mustahil bagi Allah.
Dengan demikian, pemahaman yang benar tentang sifat Allah harus mengacu pada ajaran yang telah ditetapkan dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh para ulama. Semoga penjelasan ini bermanfaat dalam memahami aqidah yang benar mengenai sifat-sifat Allah.