Kehidupan di surga adalah impian yang diidamkan oleh setiap manusia. Allah SWT menggambarkan kenikmatan surga dalam Al-Qur’an sebagai balasan bagi mereka yang beriman dan taat kepada-Nya. Namun, ada segelintir orang yang tidak hanya mendambakan surga, tetapi juga menginginkan nikmat yang lebih besar, yaitu “melihat Allah” (ru’yatullah). Salah satu tokoh yang mencerminkan cinta ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah (W 135 H), seorang wanita yang dikenal karena ketakwaannya. Dalam syairnya, ia mengungkapkan cintanya kepada Allah dengan harapan akan melihat-Nya.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah orang mukmin dapat melihat Allah, baik di dunia maupun di akhirat? Menurut Qadli Iyadh (w. 544H), melihat Allah di dunia adalah sesuatu yang mungkin secara akal. Ia berpendapat bahwa tidak ada dalil syara’ yang secara pasti melarang hal ini. Dalam QS Al-A’raf 143, terdapat kisah Nabi Musa (AS) yang meminta untuk melihat Allah, dan Allah menjelaskan bahwa Musa tidak akan mampu melihat-Nya. Namun, permintaan tersebut menunjukkan bahwa melihat Allah adalah sesuatu yang tidak mustahil.
Syekh Ibrahim Al-Laqqoni dalam nadzam Jauharatu Al-Tauhid menyatakan bahwa melihat Allah dengan mata kepala adalah jaiz bagi orang mukmin, meskipun tanpa kaifiyah dan batasan. Namun, hal ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW. Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah Rasulullah SAW melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia mencerminkan keragaman pemikiran dalam Islam.
Sebagian ulama, seperti Ibnu Taimiyah, menafikan ru’yah bil ‘ain (melihat dengan mata) bagi Rasulullah di dunia, berlandaskan keterangan dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah melihat Tuhannya dengan hatinya. Di sisi lain, Imam An-Nawawi dan mayoritas ulama berpendapat bahwa Rasulullah SAW melihat Allah dengan kedua matanya pada malam Isra’.
Kesimpulannya, meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai ru’yah di dunia, mayoritas ulama sepakat bahwa melihat Allah adalah suatu yang mungkin terjadi, dan hal ini menjadi bagian dari keyakinan dalam iman. Namun, pemahaman mengenai hal ini haruslah dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan pada dalil yang jelas.