Sebagian besar dari kita mungkin tidak menyadari bahwa 99% dari semua lalu lintas internet, mulai dari video hingga pesan WhatsApp keluarga, bergantung pada jaringan kabel bawah laut yang tersembunyi. Mengapa kita harus peduli? Karena kehidupan modern semakin bergantung pada kabel-kabel subaquatic ini, yang sering kali menjadi target serangan hiu. Mari kita lihat lebih dekat bagaimana cara kerjanya dan apa masa depannya.
Menurut website peta kabel bawah laut yang terpercaya, saat ini terdapat 493 kabel internet aktif atau yang sedang dalam tahap pembangunan di bawah laut yang menghubungkan berbagai belahan dunia. Kabel-kabel ini bervariasi, mulai dari kabel sepanjang 300 kilometer yang menghubungkan Azerbaijan ke Turkmenistan di bawah Laut Hitam, hingga kabel Maria yang mengesankan sepanjang 6.600 kilometer yang menghubungkan Virginia Beach di AS dengan Bilbao di Spanyol. Kabel Maria ini bahkan memiliki berat setara dengan 24 paus biru.
Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 1,5 juta kilometer jaringan kabel data bawah laut. Biaya untuk membangun kabel transoceanic ini cukup tinggi, dengan estimasi profesional menunjukkan bahwa satu kabel biasanya memerlukan investasi antara 300 hingga 400 juta dolar. Meskipun harganya sangat mahal, diameter kabel ini umumnya tidak lebih besar dari selang taman. Kabel ini dilengkapi dengan lapisan pelindung berbahan jelly thixotropic yang melindungi inti fiber optic yang sangat penting, serta beberapa lapisan plastik dan kabel tembaga untuk memberikan daya pada sistem.
Meskipun ukurannya kecil, kabel ini mampu mentransfer data dengan kecepatan luar biasa, rata-rata mencapai 100 gigabyte per detik, dan kabel-kabel terbaru dapat mencapai 400 gigabyte per detik. Bagaimana begitu banyak data dapat ditransmisikan melalui saluran yang sempit? Salah satu jawabannya adalah teknik pengelolaan data canggih yang dikenal sebagai dense wavelength division multiplexing. Teknik ini memungkinkan penyedia data menggunakan lebih dari satu panjang gelombang cahaya untuk mentransmisikan informasi secara fiber optic secara bersamaan, menciptakan kecepatan data yang sangat tinggi.
Kabel-kabel ini tidak hanya berupa kawat panjang yang sederhana. Setiap 70 hingga 100 kilometer, kabel-kabel ini dilengkapi dengan repeater yang berfungsi sebagai amplifier untuk menjaga kekuatan sinyal tetap stabil selama perjalanan jarak jauh. Repeater ini memerlukan daya listrik hingga 10.000 volt DC, yang dipasok melalui konduktor tembaga di dalam kabel.
Proses pemasangan kabel bawah laut melibatkan perencanaan yang matang dan penggunaan kapal khusus yang dapat menggulung kabel dalam drum besar. Dalam perencanaan ini, lokasi-lokasi yang tidak sesuai seperti daerah vulkanik, rawan gempa, atau daerah dengan aktivitas penangkapan ikan yang tinggi dihindari. Ketika kapal menempatkan kabel, ia melakukannya dengan kecepatan sekitar 10 kilometer per jam. Jika cuaca buruk, kapten dapat memilih untuk menghentikan sementara dan kembali ke perairan tenang hingga badai reda.
Namun, kecelakaan dan gangguan pada jaringan kabel ini dapat terjadi. Contohnya, pada tahun 2012, badai Sandy di AS merusak beberapa kabel transatlantik utama dan menyebabkan gangguan jaringan selama berjam-jam. Sebagian besar gangguan ini disebabkan oleh kelalaian manusia, seperti jaring penangkap ikan atau jangkar kapal yang tersangkut pada kabel. Kabel yang lebih dekat dengan pantai juga lebih rentan terhadap gangguan tersebut.
Menariknya, hiu telah terpantau menggerogoti salah satu kabel bawah laut milik Google. Selain itu, pemerintah AS telah memperingatkan adanya potensi interferensi dari kekuatan asing seperti Rusia dan China terhadap jaringan kabel ini. Hal ini menciptakan implikasi geopolitik yang menarik; misalnya, pemerintah Australia mencegah raksasa teknologi China, Huawei, untuk memasang kabel yang menghubungkan Australia dengan Kepulauan Solomon karena kekhawatiran akan akses ke jaringan internal Australia.
Siapa sebenarnya pemilik kabel-kabel ini? Pertanyaan ini menarik karena membangun jaringan kabel bawah laut adalah bisnis yang mahal. Sejarahnya menunjukkan bahwa negara atau penyedia telekomunikasi nasional sering kali menanggung biaya tersebut. Saat ini, pemilik terbesar kabel bawah laut adalah AT&T Amerika, dengan kepemilikan sekitar 230.000 kilometer kabel. Di urutan kedua adalah China Telecom. Seringkali, kabel dimiliki oleh kelompok atau konsorsium yang terdiri dari hingga 50 pemilik terpisah, termasuk perusahaan teknologi dan lembaga pemerintah lokal.
Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan teknologi besar semakin menyadari bahwa pertumbuhan mereka dibatasi oleh jaringan kabel bawah laut. Oleh karena itu, sebagian besar investasi dalam infrastruktur kabel bawah laut kini datang dari perusahaan seperti Facebook dan Google yang masing-masing memiliki hampir 100.000 kilometer kabel. Amazon juga memiliki jaringan pribadi besar untuk menghubungkan pusat data AWS-nya di berbagai lautan.
Di tengah semua perkembangan ini, muncul pertanyaan tentang apakah teknologi nirkabel seperti Starlink akan menggeser posisi kabel bawah laut di masa depan. Meskipun Elon Musk berambisi untuk menyediakan internet nirkabel secara luas, saat ini kabel masih menjadi metode paling ekonomis dan efisien untuk mentransfer data dalam jumlah besar jarak jauh. Bahkan Musk sendiri menyatakan bahwa Starlink hanya ditujukan untuk mereka yang tidak memiliki akses ke fiber optic berkualitas tinggi.
Ke depan, masa depan sangat tergantung pada jaringan kabel bawah laut. Baru-baru ini, Google dan Facebook mengumumkan inisiatif bersama untuk membangun kabel bawah laut bernama Apricot yang akan menghubungkan Singapura, Jepang, Guam, Filipina, Taiwan, dan Indonesia pada tahun 2024. Selain itu, proyek ambisius lainnya adalah kabel sepanjang 45.000 kilometer bernama “To Africa” yang akan menghubungkan 33 negara dan didanai oleh konsorsium yang dipimpin oleh Facebook.